
Dirut PT. Songgolangit Persada, Dr. Ir. Gede Ngurah Wididana, M.Agr mengatakan penggunaan teknologi Effective Microorganisms 4 (EM4) diyakini dapat menekan perkembangbiakan lalat di Kintamani, Kabupaten Bangli, yang telah menjadi persoalan serius karena populasinya yang sangat tinggi.
Menurut Wididana yang akrab dipanggil Pak Oles itu, harus ada kesadaran masyarakat dan gerakan massal untuk mengatasi serbuan lalat di Kintamani, karena tidak hanya berpengaruh dari sisi kesehatan masyarakat, juga dapat berpengaruh pada produktivitas pertanian dan wisatawan.
“Tentu harus rutin diedukasi karena kalau persoalan lalat ini terus ada, masyarakat bisa sakit, pariwisata tidak bagus, maka dapat berdampak ekonomi,” ujar Alumnus Program Pasca Sarjana (S-2) Faculty Agriculture University of The Ryukyus Okinawa ini.
Seperti yang diketahui, seekor lalat betina dapat bertelur sebanyak 3.000 butir selama hidupnya, atau rata-rata 500 butir dalam enam periode hidupnya. Lalat dewasa umumnya mampu hidup dalam 15-30 hari. Metamorfosis lalat itu dari telur, kemudian menjadi larva, selanjutnya berubah menjadi kepompong (pupa), barulah menjadi imago (lalat dewasa). Lalat betina biasanya akan menempatkan telurnya secara berkoloni pada tempat yang kotor dan berbau.
Salah satu penyebab jumlah lalat yang banyak di Kintamani karena para petani menggunakan kotoran ternak sapi maupun ayam yang tanpa pengolahan untuk memupuk tanaman sehingga menimbulkan bau yang disukai lalat. “Kalau praktik tersebut terus seperti itu, maka persoalan lalat di Kintamani tidak akan terputus,” ucap Wididana.
Oleh karena itu, lanjut Wididana, untuk memutus daur hidup lalat di tingkat peternak dapat menggunakan EM4, melalui teknik perbanyakan EM4 dengan molase dan alkohol. Jika kotoran ternak telah difermentasi menggunakan EM4 dan juga alkohol, maka telur lalat tidak bisa menetas sehingga daur hidup lalat dari telur menjadi larva dapat terputus.
“Teknologi EM ini dapat digunakan di tingkat peternak maupun di tingkat petani. EM4 bisa menekan perkembangbiakan lalat karena telur lalat tidak menjadi larva. Kalau kita bisa menekan 50 persen saja, maka akan terjadi penurunan populasi lalat yang signifikan di Kintamani. Jadi, bukan memotong daur hidup telur lalat dengan insektisida,” ucapnya sembari mengatakan dengan teknologi EM4 maka, dalam waktu tiga minggu kotoran ternak pun sudah terfermentasi menjadi pupuk yang siap pakai.
Teknologi EM pertama kali dikembangkan oleh Dr. Teruo Higa, seorang profesor Universitas Ryukyus, Okinawa, Jepang pada tahun 1982. Wididana mengatakan pihaknya menjadi satu-satunya pemegang lisensi untuk melanjutkan pengembangan teknologi Effective Microorganism (EM) di Indonesia.
Wididana dalam merintis pengembangan EM4 di Indonesia, sebelumnya dimulai dari Jakarta, dengan fokus awalnya melakukan penelitian. Selanjutnya pengembangan EM4 sambil berbisnis hingga melakukan penyuluhan di akar rumput terutama kelompok tani, ternak dan kelompok perikanan. EM4 yang dikembangkan di Indonesia terdiri atas empat jenis yakni EM4 untuk pertanian, peternakan, perikanan dan mengatasi pencemaran limbah.
Selain menggunakan teknologi EM, menurut Wididana, harus ditempuh berbagai teknik untuk mengatasi serbuan lalat di Kintamani seperti menggunakan mesin penangkap lalat. “Yang terpenting adalah menumbuhkan kesadaran masyarakat agar serempak untuk membasmi lalat, seperti halnya dalam membasmi demam berdarah. Selain itu, dapat dilakukan kerja sama dengan pelaku pariwisata dalam mensponsori penggunaaan produk EM4 untuk petani dan peternak karena persoalan serbuan lalat juga berdampak bagi kenyamanan wisatawan,” tegasnya.https://linktr.ee/em4