Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Bali Dr. I Wayan Sunada, S.P, M.Agb mengatakan penggunaan Effective Microorganisms 4 (EM4) secara serempak dapat menjadi alternatif solusi untuk mengatasi serbuan lalat di kawasan Kintamani, Kabupaten Bangli.
Serbuan lalat di kawasan Kintamani yang terkenal sebagai daerah pariwisata ini sangat berdampak pada sektor pariwisata yang tentunya harus mengutamakan kenyamanan dan higienitas. Lalat dalam jumlah yang banyak, dapat mengganggu kenyamanan wisatawan yang berkunjung ke daerah wisata yang menawarkan pesona keindahan Danau Batur dan Gunung Batur ini.
“Saya juga sudah pernah menggunakan EM4 itu dan hasilnya bagus, tetapi cara pemakaiannya tentu harus serempak. Jangan di sana disemprot, tetapi di sini tidak,” kata Sunada saat menjadi narasumber dalam acara podcast EM Indonesia Official di Kantor Pemasaran PT Songgolangit Persada, Jalan Letda Kajeng, Yangbatu, Denpasar Timur.
Apalagi penyemprotan serempak dilakukan dengan mencari sumber-sumber kerumunan lalat dan dibasmi sampai telur-telurnya tentu akan efektif untuk mengatasi masalah kerumunan lalat di Kintamani.
EM4 tak saja dapat mempercepat proses fermentasi limbah kotoran ternak menjadi pupuk siap pakai, juga efektif untuk menghilangkan bau. Dengan bau kotoran ternak yang berkurang, otomatis jumlah lalat akan sedikit karena bau busuk yang disenangi lalat telah berkurang. Teknologi EM pertama kali dikembangkan oleh Dr. Teruo Higa, seorang profesor Universitas Ryukyus, Okinawa, Jepang pada tahun 1982.
“Lalat di Kintamani mengapa jumlahnya banyak karena salah satu penyebabnya dari penggunaan limbah kotoran ternak sapi dan ayam yang belum diolah untuk memupuk tanaman. Lalat senang dengan bau busuk dan mencari sumber bau itu,” ujar Sunada saat diwawancarai oleh presenter podcast Rai Stiawati.
Padahal, ujar Sunada, sebelumnya sudah ada Surat Edaran Nomor 2 Tahun 2024 terkait larangan penggunaan limbah kotoran yang belum diolah untuk penyubur tanaman. Pemerintah Kabupaten Bangli pun mengklaim sudah sering menyosialisasikan larangan penggunaan limbah mentah sebelum terbit SE tersebut. Namun, kenyataan di lapangan, petani masih tetap menggunakan limbah kotoran yang yang belum diolah.
Ada lima poin dalam SE tersebut diantaranya dalam poin kelima ditegaskan dampak negatif penggunaan kotoran hewan mentah atau kotoran hewan yang belum diolah sempurna. Penggunaan pupuk kotoran hewan yang belum diolah sempurna, mengundang dan menjadi media pertumbuhan dan perkembangan lalat yang merupakan vektor pembawa penyakit bagi manusia. Serta mengganggu kenyamanan, khususnya wisatawan yang berkunjung ke lokasi.
Selain poin tersebut, dampak negatif penggunaan pupuk mentah juga menjadi penyebab tumbuhnya gulma, menyebabkan penyakit merusak tanaman, menimbulkan bau tidak sedap, hingga merusak kondisi iklim mikro tanah.
“Dari sisi kesehatan, kita tentu sudah tahu semua, makanan yang dihinggapi lalat akan memicu munculnya berbagai penyakit,” ucap Sunada menegaskan. Sebelumnya, Pemerintah Kabupaten Bangli pun berharap PT Songgolangit Persada (SLP) yang selama ini memasarkan produk pertanian organik Effektive Microorganisme 4 (EM4) dapat turut memberikan solusi terkait persoalan serbuan lalat yang kerap terjadi di kawasan Kintamani.
Kepala Dinas Pertanian, Ketahanan Pangan dan Perikanan Kabupaten Bangli Ir I Wayan Sarma mengatakan persoalan kerumunan lalat di Kintamani, tak hanya harus menjadi perhatian pemerintah daerah, tetapi harus melibatkan berbagai pemangku kepentingan terkait. Pihaknya sangat mengapresiasi kunjungan dari pihak PT SLP ke Kintamani belum lama ini yang telah memberikan atensi mengenai persoalan kerumunan lalat tersebut.
Pemerintah Kabupaten Bangli, ujar Sarma, selama ini terus berupaya mencari solusi untuk mengatasi serbuan lalat di Kintamani, diantaranya memberikan penjelasan dan sosialisasi mengenai efek negatif penggunaan limbah ternak yang mentah atau tanpa pengolahan pada tanaman. Kotoran ternak harus difermentasi agar dapat lebih mudah diserap tanaman dan juga tidak berbau.https://linktr.ee/em4