Apakah pemimpin yang melayani itu masih ada? Atau hanya sekedar slogan? Agar rakyat senang, untuk sekedar menghibur dan menenangkan kegaduhan politik, sosial dan ekonomi, karena kesibukan para pemimpin korup yang memanfaatkan kekuasaan untuk berkorupsi ria, pemimpin melupakan tugas utamanya untuk melayani dan mengayomi.
Dirut PT. Karya Pak Oles Group, Dr. Ir. Gede Ngurah Wididana, M.Agr mengungkapkan, dulu istilah ngayah (memberikan pelayanan) sudah terbiasa dan menjadi panggilan hidup untuk ngayah dalam berbagai bidang kehidupan, ngayah menjadi tugas dari diri sendiri, sebagai swadarma, tugas yang harus diselesaikan dengan tuntas, sebagai anak, orang tua, murid, guru, pekerja, pemimpin, atau kerja apa saja, konsep ngayah, berkorban untuk orang lain, untuk masyarakat adalah tugas pemimpin.
Tapi dengan tergerusnya oleh waktu, jaman, budaya, sosial, politik, filosofi ngayah mulai dilupakan, atau bergeser makna. Mereka yang ngayah harus ada yang mayah (membayar), kalau tidak dibayah (dibayar), maka perut menjadi layah (lapar), akhirnya konsep membayar dan melayani menjadi politik transaksional.
“Jual-beli suara dari rakyat ke pejabat/pemimpin, anggota DPR/DPRD, bupati, gubernur, atau presiden, dalam bentuk bantuan sosial, atau sumbangan, yang pada akhirnya menghasilkan semakin banyak pejabat/pemimpin yang korupsi, rakyat lemah, tidak kreatif, bermental suka menadahkan tangan, bermental peminta-minta,” ujar pria yang akrab disapa Pak Oles.
Alumnus Program Pasca Sarjana (S-2) Faculty Agriculture University of The Ryukyus Okinawa, Jepang (1987-1990) menambahkan, dalam teori kepemimpinan, pemimpin itu diciptakan, dilatih, melalui proses pelatihan yang panjang, sampai menjadi pemimpin hebat. Pemimpin yang hebat adalah dia yang melayani, membimbing, mengayomi, mengarahkan, menguatkan dan menyemangati pengikutnya.
Pemimpin yang melayani bukan cerita di awang-awang, dia itu nyata, tapi dia harus diciptakan dan dilatih, sehingga mereka memiliki keterpanggilan dari dalam diri, mau menyerahkan hidupnya untuk melayani, membuang kepentingan diri, mendahulukan kepentingan pengikutnya. “Seperti yang dikatakan dalam kata bijak, barang siapa yang melayani, dialah yang layak memimpin,” tegas Alumnus program S-3 Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa, Denpasar. (Dari dialog publik Prajaniti di Denpasar).linktr.ee/pakolescom