Lembaga Sensor Film (LSF) RI, menggelar literasi Gerakan Nasional Budaya Sensor Mandiri (GNBSM) guna memberikan perlindungan kepada masyarakat dari dampak negatif film dan iklan film, yang tidak cukup hanya dengan kebijakan Surat Tanda Lulus Sensor (STLS), bertempat di Aston Kuta Hotel & Residence, Kuta Badung, Bali, Kamis (7/11).
Wakil Ketua LSF RI, Noorca M. Massardi dalam sambutannya menyampaikan, masyarakat perlu mendapatkan pendidikan serta pengetahuan terhadap film dan iklan film melalui penguatan fungsi literasi. Sehingga masyarakat memiliki kepedulian dan kesadaran memilah dan memilih tontonan sesuai dengan klasifikasi usia dan peruntukkannya.
“LSF melakukan sosialisasi sudah lebih dari 5 tahun, pentingnya sensor film sebagai amanah Undang-undang, Nomor 33 2009 perfilman. “Film sangat berpengaruh besar terhadap perubahan dan peradaban budaya,” ujarnya.
Sementara itu PJ Gurbernur Bali yang diwakili Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, Prof . Dr. I Gede Arya Sugiartha, S,Kar., M.Hum mengatakan, penyensoran film merupakan amanat dari Undang-undang Nomor 33 Tahun 2009. Setiap produk khususnya film, yang beredar di masyarakat wajib tersertifikasi lulus edar dari lembaga berwenang, dalam hal ini Lembaga Sensor Film (LFS) RI.
“Kita semua menyadari upaya untuk melindungi masyarakat dari dampak negatif film tidak hanya cukup dengan kebijakan lulus sertifikasi sensor, untuk itu publik perlu mendapatkan edukasi perfilman secara inklusi, melalui penguatan fungsi literasi media,”ujarnaya.
Ketua Komisi II LSF Dr. Ervan Ismail, M.Si, Menjelaskan, Film sebagai karya seni budaya memiliki peran strategis dalam ketahanan budaya bangsa dan kesejahteraan masyarakat lahir batin.
Negara bertanggung jawab memajukan perfilman. Film sebagai media komunikasi massa merupakan sarana pencerdasan kehidupan bangsa, pengembangan potensi diri, pembinaan akhlak mulia, pemajuan kesejahteraan masyarakat, serta wahana promosi Indonesia di dunia Internasional.
“Perlu dikembangkan dan dilindungi. Film dalam era globalisasi dapat menjadi alat penetrasi kebudayaan sehingga perlu dijaga dari konten negatif yang tidak sesuai dengan ideologi Pancasila dan jati diri bangsa,” jelasnya.
Sementara itu, Kutua KPID Bali I Gede Agus Astapa, S.Sos, S.I.Kom., MM menyampaikan, menjaga Film di TV tetap sehat untuk masyarakat cerdas dan berkualitas, KPI/KPID melakukan tugas berpedoman pada UU 32/2002 tentang Penyiaran dan Peraturan KPI tentang P3SPS (Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran).
Hal tersebut penting dilakukan, sebab iklan adalah “jantung” dari sebuah program. Dalam etika yang telah disusun oleh DPI, iklan harus memiliki etika yang berakar dari nilai-nilai budaya bangsa. Oleh karena itu, pemasang iklan juga harus melihat apakah program tersebut sudah sesuai dengan nilai-nilai budaya bangsa kita. Kedua Revisi UU Penyiaran.
“Publik harus mendorong anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia agar menciptakan tayangan yang bermutu melalui revisi Undang-Undang 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Penguatan terhadap lembaga KPI dan konten lokal harus menjadi fokus revisi,” Jelas Agus Astapa. linktr.ee/pakolescom