Oleh: Dr. Wididana )*
Sebersit ide muncul saat saya berkunjung ke Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPA) di Denpasar pada 1998. Di sana dibuang sampah lebih dari 4000 ton sampah organik setiap hari yang diangkut dengan truk. Saat sampah dibuang, puluhan pemulung berebut sampah untuk mengais barang-barang sampah yang bisa didaur ulang, dari plastik, karet, kardus, besi dan kaca.
Ada juga pemulung yang mengumpulkan sampah makanan dari hotel untuk ternak ayam dan babi. Di sana juga ada puluhan sapi berkeliaran ikut berebut makanan dari sampah pasar, berupa daun-daun, sisa buah. Pemandangan berebut rejeki dari sampah sangat menarik perhatian saya.
Kemudian saya ada ide untuk membuat pupuk bokashi di tempat sampah. Ijin untuk mengelola sampah di TPA seluas 1 hektar diberikan oleh walikota Bapak Puspayoga kepada saya selama 5 tahun (1999-2004). Lahan sampah tersebut saya kelilingi dengan kawat berduri. Saya mendirikan bangunan besi beratap seng seluas 200 meter persegi untuk tempat mengumpulkan sampah organik dan mengolahnya menjadi pupuk Bokashi.
Pupuk Bokashi tersebut saya beri nama Bokashi Kotaku, yang artinya Pupuk Bokashi dari kota saya. Proyek kecil tersebut merupakan percontohan untuk daur ulang sampah kota menjadi pupuk organik. Peserta pelatihan untuk membuat pupuk bokashi dari sampah kota dari berbagai daerah datang melakukan studi banding ke TPA. Di dalam areal pembuangan sampah juga saya memelihara 50 ekor sapi yang diberi makan sampah organik yang sudah dipilah.
Membuat pupuk bokashi dari sampah organik dibutuhkan ekstra energi, dari memilah, mencacah dengan mesin, memfermentasi, menghaluskan dengan mesin, mengemas, dan mendistribusikan ke petani/toko pertanian. Secara ekonomi proyek pengolahan sampah organik kota menjadi pupuk belum menguntungkan, karena harus dilakukan dalam skala yang lebih besar, areal luas, mesin yang lebih besar.
Keuntungan mengelola sampah organik adalah mendapatkan hasil lingkungan yang lebih bagus, menghasilkan pupuk organik murah. Proyek yang saya jalankan tersebut berakhir setelah lima tahun berjalan, karena kontrak penggunaan lahan tidak diperpanjang. Kemudian saya melanjutkan membuat pabrik pupuk Bokashi di daerah Denpasar, di lahan pertanian yang saya kontrak selama 10 tahun (2004-2014), dan selanjutnya pabrik pupuk Bokashi dibuat lebih permanen di desa Bantas, Selemadeg, Tabanan.
Perjalanan malang melintang membuat pabrik pupuk Bokashi memberikan pelajaran yang berharga bagi saya. Bahwa mebuat pupuk Bokashi harus dilakukan perhitungan bahan baku yang matang, dari penyediaan, kontinyuitas bahan baku, harga, tenaga kerja, pemasaran dan distribusi. Bahan baku pupuk yang membeli dari luar, dari peternakan, tenaga kerja dan transportasi/ distribusi pupuk ke petani merupakan sumber biaya yang sangat besar.
Jika terjadi salah hitung dalam menggunakan sumber daya tersebut, maka akan terjadi pemborosan dan kerugian usaha. Berdasarkan pengalaman tersebut, kami bisa menjaga produksi dan kualitas produk dengan baik, sehingga Industri Pupuk Bokashi Kotaku bisa berlanjut sampai sekarang.https://linktr.ee/em4
)* Direktur Utama PT Karya Pak Oles Group.