Stah Ahli PT Songgolangit Persada (SLP) Ir. I Gusti Ketut Riksa mengungkapkan, Sekitar tahun 1960, ikan mas koki Bali sangat terkenal dan pemiliknya punya group husus koki-Bali. Harganya pun lumayan mahal, karena perilaku dan bentuknya sangat indah, matanya menonjol, sirip-siripnya lemah gemulai, pergerakannya pun sangat lincah, namun ikan ini mempunyai banyak kelemahan.
“Kelemahan ikan ini antara lain tidak tahan dipelihara di aquarium, karena puluhan tahun lamanya sudah terbiasa dipelihara dalam gentong tanah yang diberi sedikit tanaman Hydrilla verticillata”, ujar mantan Kadis Pertanian Kabupaten Bangli ini.
Ia menambahkan, tanaman Hydrilla verticillata berfungsi untuk mensuplai oksigin dan tempat meletakkan telur. “Bila ikan koki lapar tanaman ini biasa disantapnya.” Ujar Gusti Riksa yang juga sebagai Instrukrur di Institut Pengembangan Sumber Daya Alam (IPSA).
“Selain itu, Ikan Koki Bali juga tidak bisa makan makanan pabrikan karena sudah terbiasa makan tepung terigu yang dioplos dengan telur, dikukus,dijemur dan diiris-iris menjelang pemberian, alangkah sulitnya dalam pemeliharaanya,” ujarnya.
Menurutnya, Ikan Mas Koki Bali juga miskin terhadap warna, hanya memiliki satu jenis warna yakni hitam kehijauan. Riksa mengatakan, konon ikan ini berasal dari Tiongkok dipakai cinderamata oleh para pedagang Cina kepada raja-raja di Bali, ikan ini teryata betahun-tahun hanya dipelihara kaum ningrat saja dan tidak bisa berkembang.
“Pernah diadakan lomba yang diseponsori oleh almarhum Bapak Nyoman Dira didepan musium Bali dan saya datang melihatnya. Karena keterbatasan sifat-sifat ikan koki Bali, lombanya menggunakan ember dari seng yang agak besar, alangkah tidak ergonomisnya alat lomba itu,” jelasnya.
Juri lomba hanya melihatnya dari atas padahal ikan ini sangat indah kalau dilihat dari samping (sideview). Penonton pun melihatnya satu-persatu. “Saat itu timbul benak saya untuk mengadakan persilangan dengan varian-varian yang ada dipasar. Saya langsung membuat persilangan itu, namun yang berhasil baik hanya “koki Bali versus varian Reukin dan Tosakin,” ujar Riksa.
Gusti Riksa pernah menjual hasil silangan dengan harga cukup mahal, namun usaha itu terhenti, karena semua induk mati yang disebabkan karena adanya getaran disel saat membuat sumur bor. “Informasi ini saya peroleh dari Balai Benih Ikan di Desa Gondol yang terletak di Buleleng-Barat,” terang Riksa.
“Ada-ada saja hambatan dalam berusaha padahal getaran diesel tidak pernah saya perhitungkan. Penyilangan ini sebenarnya sangat melelahkan karena semua induk silangan harus menunggu dewasa untuk bisa kawin lagi,” pungkasnya.https://linktr.ee/em4