Oleh: I Gusti Ketut Riksa *)
Artikel ini saya tulis untuk mengingatkan kita agar bertani secara baik dan benar; kalau salah dalam penerapan teknologi akibatnya bisa fatal; hati-hatilah mengikuti opini yang berkembang karena semua itu belum tentu lestari. Penyakit ini selalu menjadi momok bagi petani jeruk di Bali, meskipun berbagai penemuan ilmiah oleh para mahasiswa diperguruan tinggi telah ditemukan namun kondisi lapangan khususnya tanaman jeruk sampai saat ini tetap merana dan mati.
Pada saat itu sekitar tahun 1970-an untuk pertama kalinya saya bekerja di Dinas Pertanian Provinsi Bali dan ditugaskan sebagai spot worker pada proyek “Jeruk bebas virus pada tanaman jeruk”. Proyek ini berlokasi di Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng-Bali. Saat itu juga penyakt ini masih ditenggarai penyebabnya adalah mahluk yang sangat kecil yang desebut virus; maka judul proyeknya disebut “Proyek Jeruk Bebas Virus” yang ditularkan oleh kumbang sangat kecil seperti wereng yang disebut “Diaphorina Citri”.
Ternyata penyebab penyakit ini selalu mengalami pergantian sesuai dengan pengalaman petugas pusat yang diperoleh dari Kalifornia, Jepang, dan Hawai. Sebagai seorang spot worker tentu saya mengikuti petunjuk atasan yang berasal dari Dinas Hortikultura Pusat yang ditugaskan oleh Departemem Pertanian. Seperti yang terhormat almarhum Pak Mahfudi, Prof. Suleiman, pak Nardi dan Ir Abuhera. Setiap pergantian nama dari “penyebab penyakit”, maka kebijakan pemberantasannya pun berubah pula.
Diawali dengan memberantas Diaphorina citri yang dianggapnya sebagai carier penyakit, kemudian berubah menggunakan infus dengan tetracyclin, karena penyebabnya ditenggarai bakteri, berubah lagi dengan antibiotika lainnya karena penyebabnya dianggap “BLO” (bakteri like organisms) di akhir proyek barulah dianggap sebagai penyakit phisiologis, dan dinyatakan tanpa obat yang dapat menyembuhkannya. Saat itu saya berfikir “Alangkah sulitnya mencari kebenaran yang hakiki”.
Semua itu saya ikuti secara seksama sambil mencari pengalaman kerja, mulai dari mengambil sampel daun jeruk baik yang sehat maupun yang sakit yang berada terpencar diseluruh Bali, melakukan penelitian mikoscopis tentang adanya endapan pati pada jaringan phloim saya ikuti saja petunjuk para ahli itu sampai menemukan kasimpulan final bahwa gejala “CVPD” itu bukanlah penyaki infeksi melainkan hanyalah penyakit physiologis.
Seperti diketahui bahwa Bali pernah terkenal secara nasional dengan jeruk Balinya. Waktu kecil saya melihat banyak pohon jeruk dibelakang rumah yang pohonnya sebesar pinggang yang membuktikan pohon-pohon itu sudah berumur puluhan malah ratusan tahun. Ayah saya sangat fanatik dengan pohon jeruk; setiap membuat talenan kayu tentulah mengunakan pohon jeruk. Menurut penuturan orang-orang tua didesa Bondalem, kata Bondalem konon berasal dari ”kebon dalem” yang berarti kebon miliknya dalem yakni seorang raja di Bali yang berkedudukan di Kabupaten Kelungkung.
Mendengar penuturan ini nampaknya tanaman jeruk sudah sejak lama hidup subur di Bali yakni sejak zaman kerajaan, namun setelah Indonesia menerapkan teknologi berbasis kimia mendadak namun pasti tanaman jeruk mengalami kematinan satu persatu dan semuanya habis ditahun 1980. Hanya dalam korun waktu sembilan tahun sejak penerapan pertanian kimia dipertanian tanaman jeruk mengalami kepunahan secara massal mulai dari Bondalem, Tejakula sampai ujung barat dan ujung timur pulau Bali bahkan sampai pulau Nusa Penida.
Produksi jeruk diantara tahun 1970 dan tahun 1980 sempat menguasai pasar Surabaya, Semarang dan Jakarta. Banyak petani jeruk yang mengontrak kios di Jawa untuk menjual produknya; saat itu para petani, pedagang dan pengusaha transport sampai masyarakat umum disejahterakan oleh tanaman jeruk.
Karena terngiang oleh hasil yang tinggi, maka para petani memupuk juruknya dengan dosis yang tinggi menyemprotkan pestisida dan herbisidanpun lebih sering dari biasanya. Dengan tidak disadari sebelumnya bahwa kematian pohon jeruk pun dipercepat. Disaat awal dimana kandungan bahan organik masih tinggi upaya itu memang membuahkan hasil; namun setelah bahan organiknya berkurang hal ini tidak bisa diharapkan lagi.
Ini berarti pohon jeruk hanya mampu berkembang dengan baik dengan menggunakan zat kimia sampai umur tujuh tahuan, lebih dari tujuh tahun buahnya kecil-kecil, padat dan tidak berair rasanya pahit dan daunnya kaku, akhirnya banyak kebun jeruk yang terlantar. Yang menyebabkan para patani maniak, karena tanaman jeruk sempat dapat memberikan kemakmuran kepada penduduk seperti renovasi rumah, renovasi pintu gerbang, tempat sembahyang bahkan menyekolahkan anak-anaknya keluar negeri namun sekarang semua itu tinggal kenangan.
Berbagai upaya untuk mengembalikan kondisi tanaman jeruk seperti sediakala ternyata kandas. Keadaan itu berlangsung sampai sekarang, kecuali tanaman baru yang tidak menggunakan teknologi kimia sinthetis, barulah tanaman jeruk dapat tumbuh dan berkembang sebagai mana mestinya. Ini salah satu bukti bahwa kepekaan tanaman terhadap zat kimia tidaklah sama, ada tanaman yang peka seperti jeruk ada pula yang relatif tahan seperti padi, tanaman ini mungkin pertumbuhannya mengecil dalam waktu yang lama.https://linktr.ee/em4
*) Staf Ahli PT Songgolangit Persada dan Instruktur EM4 pada Institut Pengembangan Sumber Daya Alam (IPSA) Bali.