Bokashi-EM Solusi Kembalikan Kesuburan Tanah Akibat Penggunaan Pupuk Kimia

0
175
Seorang petani perempuan menunjukkan tekstur tanah yang gembur dan subur berkat sentuhan EM4 dan pupuk bokashi di kawasan Desa Tajun, Kubutambahan, Kabupaten Buleleng.

Pertanian tradisional Bali zaman dulu maupun di sejumlah daerah lainnya di Indonesia dinilai jauh lebih baik dan unggul dengan tingkat kesuburan lahan yang lestari, meskipun hanya menggunakan pupuk kandang, kotoran ternak dan limbah organik lainnya untuk merawat tanaman sehingga tumbuh subur.

Petani zaman dulu terutama di lahan basah selalu memelihara minimal dua ekor sapi untuk membantu mengolah lahan pertanian dan memanfaatkan limbahnya sebagai pupuk dan memiliki tabungan, jika sewaktu-waktu butuh uang, kata Staf Ahli PT Songgolangit Persada, Ir. I Gusti Ketut Riksa.

Ia yang juga Instruktur Effective Microorganisme (EM) pada Institut Pengembangan Sumber Daya Alam (IPSA) Bali, menilai, petani zaman dulu lebih agresif, kreatif, tidak mau berpangku tangan, selain menggarap lahan pertanian, juga memelihara minimal dua ekor sapi untuk membantu mengolah lahan (membajak).

Demikian pula memelihara ternak unggas, babi dan budidaya ikan air tawar, minimal mampu memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari dan meningkatkan pendapatan keluarga. Semua aktivitas memelihara ternak dilakukan di sawah sehingga tidak memerlukan biaya angkut kotoran hewan untuk pupuk organik. Kencing sapi beserta kotoran padat langsung dikuras masuk ke dalam sawah, sehingga lahan pertanian memperoleh asupan pupuk kandang.

Pertanian terpadu tempo dulu selalu mengatur giliran tanaman dengan setengah tahun basah dan setengah tahun kering. Petani selalu menanam pupuk hijau setelah padi gadu karena masih tersedia waktu untuk menunggu musim tanam berikutnya.
Pupuk hijau yang ditanam adalah jenis kacang-kacangan, kedelai dan lain-lain yang selanjutkan dibenamkan saat pengolahan tanah berikutnya. Budaya pupuk hijau itu kini tidak ditemukan lagi. Demikian pula pada lahan sawah sekarang hampir tidak ada lagi giliran tanam, karena petani cenderung menanam padi tiga kali setahun tanpa memberi tanah untuk istirahat.

Padahal giliran tanam merupakan aspek penting dalam keterpaduan untuk mempertahankan tingkat kesuburan tanah dan mempertahankan kestabilan produksi. Dengan demikian pupuk organik di berbagai daerah di Indonesia, terutama di Bali sudah ada sejak lama yang telah diterapkan dalam pertanian secara turun temurun.

Namun pemerintah Indonesia, sejak pemerintahan orde baru meniru proses penanaman padi maupun tanaman hortikultura lainnya dari luar negeri menggunakan pupuk berbahan kimia, sehingga sebagian besar petani Indonesia mengikutnya. Hasilnya dalam waktu singkat Indonesia dari negara pengimpor beras terbesar di dunia menjadi swasembada pangan. Subak Rijasa di Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan, Bali meraih prestasi gemilang, berhasil keluar sebagai juara pertama tingkat nasional lomba Supra Intensifikasi usus (Insus) tahun 1979 dengan produksi padi paling tinggi dibandingkan dengan sawah-sawah lainnya yang ada di seluruh daerah di Nusnatara.

Organisasi kesehatan dunia (WHO) pun terheran-heran karena, Indonesia pernah menjadi pengimpor beras terbesar di dunia tahun 1976, dengan mengimpor dua pertiga dari surplus dunia menjadi negara yang swasembada beras. Bukan saja birokrasi, para patani, masyarakat dan semua pihak menjadi terkesimak, karena menggunakan pupuk, pestisida dan herbisida kimia pengaruhnya tehadap tanaman sangat instan, tanaman kalihatan lebih subur, hama dan penyakitnya cepat terbasmi.

Banyak kalangan justru menganggap bahwa keterbatasan pangan telah dapat diatasi dengan menerapkan teknologi kimia. Petani menjadi terkesimak karena kondisi itu, baru kali itu mereka rasakan setelah bertahun-tahun melaksanakan pertanian tradisional.
Cara bertani seperti itu telah membahagiakan hati para petani, sampai petani menjadi maniak dengan pupuk dan pestisida kimia. Namun perlu diingat bahwa yang serba kimiawi itu tidak bisa dibuat sendiri oleh petani yang mengakibatkan mereka terus menunggu pasokan zat kimia dari pemerintah, tutur Gusti Ketut Riksa.

Pemerintah Baru Sadar

Ir. Gusti Ketut Riksa menjelaskan, teknologi kimia yang diterapkan lebih dari 50 tahun telah menurunkan sifat fisik biologi dan kimia tanah, menurunkan kandungan bahan organik tanah, menurunkan kandungan vitamin hormun dan antioksidan bahan pangan bahkan terkontaminasi dengan kimia berbahaya.

Ketahuilah bahwa tingkat produksi tanah berbanding lurus dengan kandungan bahan organiknya, yakni semakin tinggi kandungan bahan organik semakin tinggi pula kualitas dan kuantitas produksinya. Dengan semakin merebaknya pertanian kimia, bahan organik di kesampingkan, petani hanya memprioritankan penggunaan zat kimia karena aplikasinya di lahan sangat mudah. Menjadikan lahan pertanian “sakit kers”

Oleh sebab itu banyak lahan pertanian beralih fungsi menjadi non pertanian karena produksinya tidak sebanding lagi dengan biaya poduksi. Menurut USDA kandungan bahan organik tanah pertanian di Amerika Serikat sebelum perang dunia II malah lebih dari 60 %, sekarang tinggal 5 % saja.

Di Indonesia meskipun penggunaan teknologi kimia lebih lambat dari negara-negara lainnya, kandungan bahan organik sawah sudah kurang dari 5%. Ini menandakan saat melaksanakan teknologi kimia, kita memaksa lahan sawah tiga kali tanam padi setahun dengan dosis penggunaan teknologi kimia yang cukup berat, yakni dengan dosis anjuran urea 4 ton, phosfat 2 ton dan kalium 1 ton setiap hektarnya.

Konsekwensi yang sulit dihindari antara lain rusaknya struktur tanah, menurunnya kuantitas dan kualitas produksi pangan, hama dan penyakit dibidang pertanian merajalela, terjadinya pencemaran tanah, air dan udara, penyakit baru bermunculan. Dengan penerapan peranian organik, akankah struktur tanah membaik, konsumsi penduduk dunia tercukupi, bebas dari pencemaran, dunia dan segenap isinya bisa sejahtera? , kita lihat saja 50 tahun mendatang.

Pemerintah Indonesia sekarang baru sadar, bahwa pupuk kimia itu justru merusak tanah. Tanah yang rusak dapat diperbaiki dengan menggunakan bahan organik kaya akan sumber hidup (Bokashi), pupuk organik hasil fermentasi bahan organik sentuhan Effective Microorganisms (EM), teknologi mudah, murah, hemat energi, ramah lingkungan dan berkelanjutan.

Bokashi, kompos hasil fermentasi EM4) menyediakan haralengkap yang dibutuhkan oleh tanaman, fisik tanah jadi gembur, dan biologi tanah dapat melakukan fungsinya seperti sediakala. Bokashi solusi untuk mengembalikan kesuburan tanah sekaligus menekan biaya pemupukan dan perawatan.

Bokashi dibuat dari bahan-bahan organik yang mudah diperoleh di sekitar rumah, sawah, kebun, contohnya, dari sisa tanaman (limbah pertanian), jerami, pupuk kandang, kompos kasar dan hijauan lainnya.
Melalui EM4 bahan tersebut difermentasi sehingga menjadi Bokashi, Proses pembuatan cepat, Bokashi juga biasa disebut kompos super, karena manfaat yang super pada tanah dan tanaman.

Bokashi diaplikasikan sebanyak dua ton perhektar, sementara untuk mencegah serangan hama penyakit, tanaman rutin disemprot pestisida alami, pestisida alami ini tidak membunuh hama, hanya mengusir dan menjauhkannya dari tanaman budidaya.
Pestisida alami dibuat menggunakan rempah-rempah tanaman yang difermentasi EM4. Sistem bertani organik untuk dikembangkan ke berbagai daerah di Indonesia. Selain menguntungkan bagi petani, pertanian organik sehat dan ramah lingkungan. Teknik budidaya padi organik mampu meningkatkan produktifitas padi dengan cara mengembalikan sifat dan ekosistem alami tanaman, tanah, air dan unsur hara.

Prosesnya Mudah

Gusti Ketut Riksa menjelaskan, membuat pupuk Bokshi prosesnya sangat mudah dengan sentuhan EM, semua petani dimanapun berada mampu membuat pupuk organik Bokashi secara murah, mudah dan cepat memanfaatkan bahan baku sampah dan limbah organik dengan sentuhan pupuk hayati Effective Microorganisms4 (EM4).

Membuat pupuk ramah lingkungan itu dapat dilakukan di mana saja, baik di gudang, halaman rumah, di tegalan atau di sawah. kumpulkan bahan organik sebanyak mungkin meliputi sampah organik, sampah rumah tangga, sampah dapur, serbuk kayu gergajian, sekam padi serasah dan kotoran hewan.

Semua bahan tersebut ditumpuk bercampur ditaburi dengan sedikit dedak lalu siram dengan EM yang telah diencerkan dengan setiap 10 cc EM per liter air hingga kelembaban mencapai sekitar 35 persen-40 persen kemudian ditutup dengan terpal.
Hanya dengan fermentasi selama dua minggu, semua bahan organik akan menjadi pupuk bokashi yang siap ditaburkan di lahan persawahan. Setelah menaburkan bokashi barulah lahan dibajak, digaru seperti biasanya.

Membuat bokashi langsung di atas lahan sawah, setelah panen langsung babad jerami sampai dipangkalnya, tambahkan lagi dengan serasah lainnya seperti rabasan rerumputan, sampah-sampah organik, serbuk kayu bekas gergajian , sekam padi dan kotoran hewan semakin banyak lebih bagus.

Taburkan bokashi dua ton per hektar secara merata selanjutnya genangi lahan sawah dengan air irigasi yang ditambah dengan 100 literEM aktif, yang berasal dari lima liter EM asli. Biarkan genangan itu selama tiga minggu, semua bahan organik akan menjadi lumat, setelah itu baru dibajak seperti biasa dilakukan, bahan organik bercampur dengan lahan olah.

Tuangkan bokashi cair pasca tanam padi. Bokashi cair adalah pupuk cair yang dibuat dari kotoran hewan yang diencerkan dengan air, selanjutnya difermentasi dengan EM, disiram pada lahan sawah yang telah ditanami padi dan digenangi air irigasi.
Berikut penuangan bokashi cair yang dapat mempercepat menyuburkan lahan sawah. Siapkan drum plastik yang bervolume 100 liter, masukkan kotoran sapi atau ayam maupun kambing ke dalam drum sebanyak 30 kg atau 30 persen dari volume wadah.

Setelah itu masukkan juga tiga liter EM, tiga liter molase, lalu isi drum air sampai penuh. Campuran adonan itu diaduk merata selama 5 menit lalu ditutup dengan plastik dan diikat tali. Lakukan pengadukan selama 3-4 hari, setiap hari selama tiga menit terus tutup kembali dengan plastik.

Selama sepuluh hari adonan itu difermentasi telah menghasilkan 100 liter pupuk bokashi cair yang cukup untuk memupuk tanaman padi di sawah seluas satu hektar. Tuangkan bokashi cairan itu disetiap petakan sawah melalui kuakan pematang tempat air masuk.
Lakukan pembuatan dan penyiraman dengan cara yang sama sebanyak 8 kali selama 90 hari umur padi sehingga akan memperoleh percepatan kesuburan lahan sawah dengan cara yang mudah dan murah.

Luangkan waktu yang tiga minggu untuk pembuatan bokashi di lahan sawah dan luangkan juga waktu untuk mengumpulkan bahan organik sebanyak-banyaknya sesuai kemampuan. Semua pengorbanan waktu dan tenaga yang dilakukan akan memberikan kesejahteraan di kemudian hari.

Setelah tiga kali musim tanam diperlakukan dengan cara yang sama akan terjadi perubahan yang sangat nyata tentang kesuburan tanah yang dicirikan dengan lahan olah yang semakin dalam, sehingga pematang sawah harus ditinggikan, kandungan bahan organik bertambah, kandungan udara dalam tanah juga meningkat, tanah semakin kuat untuk memegang air, fisik, kimia dan biologi tanah secara keseluruhan juga membaik.

Binatang sawah seperti belauk, kecueng, kelipes, kecucutan dan larfa capung lainnya muncul dan turut berkembang dengan baik, capung juga beterbangan semakin banyak di atas sawah. Semua itu menjadikan masyarakat luas dapat mengkonsumsi beras organik, bebas kimia dan bernutrisi tinggi. Sapi, kerbau dan kambing yang makan jeraminya akan menjadi lebih sehat, semua makluk akan hidup sehat dan berbahagia sekaligus pertanian dan lahan pertanian di Indonesia selamat dari kehancuran.https://linktr.ee/em4

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini