Vriansyah (35), seorang petani asal Desa Lubuk Seberuk, Kecamatan Lempuing Jaya, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI),Sumatera Selatan (Sumsel), mulai bertarik menggeluti pertanian organik berbasis Effective Microorganisms (EM).
Upaya itu mampu menghasilkan beras organik dari tanaman padinya yang dirawat dengan pupuk ramah lingkungan yang diproduksinya sendiri dari limbah organik, sampah dapur dan limbah pertanian lainnya dicampur dengan air, molase atau gula merah difermentasi dengan EM dalam wadah tertutup selama tiga minggu dan siap diaplikasikan.
Semula, sosok pria itu dalam usaha tani sangat tergantung pada pupuk kimia dengan harapan mendapat hasil melimpah. Namun, hal itu (bertani menggunakan pupuk kimia) secara perlahan ditinggalkan dan beralih dengan sistem pertanian organik.
“Pertanian organik baru saya lakoni selama empat tahun terakhir. Jadi sampai sekarang lahan yang benar-benar full organik seluas seperempat hektar, sisanya statusnya masih semi organik,” ujar Vriansyah seperti yang disiarkan gatra.com.
Ia menjelaskan, lahan pertanian semi organik yang digarapnya itu karena petani di kanan kiri sawahnya masih menggunakan pupuk kimia. Hal itu didasarkan pengalaman pada saat awal perubahan pemberian pupuk organik, dihadapkan pada persoalan hasil panen jauh merosot. Pada tahun pertama peralihan pemberian pupuk organik satu hektar hanya menghasilkan sekitar 4 ton gabah kering giling (GKG).
“Tetapi di tahun kedua, ketiga semakin meningkat dan untuk tahun ke empat kemarin, sudah kembali normal seperti saat memakai pupuk kimia yaitu 6 -7 ton,” tuturnya.
Dia mengatakan kedepan bakal ada penambahan luas lahan yang akan menerapkan pemupukan secara organik. “Insyaallah ke depan ada penambahan dari lahan persawahan milik tetangga sekitar 7 – 8 hektar,” katanya.
Ia juga menceritakan, sulit beradaptasi lahan yang sebelumnya diberi pupuk kimia dan beralih dengan pemberian pupuk organik akibat kadar residu dari zat-zat kimia yang telah tercampur ke dalam tanah.
Kendati demikian, berkat kerja keras menggeluti pertanian organik mulai berbuah manis, selain beras organik memiliki kualitas yang bagus dengan rasa yang lebih segar dan wangi. Apalagi sudah dijamin lebih sehat untuk dikonsumsi.
“Harga berasnya juga jauh lebih baik (mahal) dibanding beras menggunakan
pupuk kimia, yakni berkisar Rp15.000 per kg untuk beras organik; Rp8.500-9.000 untuk beras biasa,” ucapnya seraya mengatakan, pangsa pasarnya juga tertentu.
Sementara, untuk memenuhi kebutuhan pupuk organik, ia mengaku berbekal pengalaman dan pelatihan yang telah diikuti selama ini. Setidaknya ia memproduksi empat jenis pupuk cair dan satu jenis pupuk padat, di mana bahan utamanya sampah organik didapatkan dari sekitar rumahnya.
Mulai dari pupuk padat bernama kohe, pupuk cair urea, fosfat, pengganti KCL, dan pupuk PGPR. Adapun proses pembuatannya, bahan pembuatan pupuk organik cair (POC) pengganti urea yaitu rerumputan lalu dicacah dan ditambahi dengan gula cair dan bakteri EM4 dan tunggu dipersentasikan selama kurang lebih 15 – 30 hari. Lalu POC fosfat dengan bahan bonggol pohon pisang kemudian dicacah halus dan diberikan molase (gula cair) serta tambahkan bakteri EM4 secukupnya tunggu selama 1 bulan.
Sedangkan pupuk pengganti KCL bisa diolah dari sabut kelapa dicacah lalu diberi air tambahkan juga gula cair dan beri bakteri EM4 dan fermentasi juga selama 1 bulan. Adapun pembuatan POC PGPR bahan bakunya dari akar-akar bambu, akar putri malu atau akar pisang yang banyak mengandung bakteri.
Bahan dari akar-akaran tersebut lalu dicampur air matang dan direndam selama 5 hari. Setelah mendapat biangnya, barulah dicampur dedak yang sudah direbus dan tambahkan terasi serta campurkan dengan gula cair. Tinggal tunggu selama 15 – 30 hari baru siap disemprotkan.
Dengan sistem pembuatan pupuk organik ini, pihaknya dapat melakukan penghematan biaya perawatan sawah miliknya. Di mana seluruh pembuatan POC tersebut hanya membutuhkan molase (gula cair) dan bakteri EM4.
Ia mengharapkan agar pemerintah ataupun pihak terkait dapat membantu dari segi pemasaran beras organik agar lebih banyak petani yang beralih memakai pupuk organik.
“Kalau bisa kami ini diarahkan dimana tempat penjualan yang mau menerima beras organik dalam jumlah banyak. Serta diberikan bantuan untuk mengurus ijin untuk mendapatkan label beras organik dan Standar Nasional Indonesia (SNI),” pungkasnya.https://linktr.ee/em4