Oleh: Wayan Windia *)
Di ujung bulan Nopember yang lalu, ada diskusi tentang rencana revisi Perpres Kawasan Sarbagita. Diadakan di kawasan Kuta, oleh Kemen ATR-BPN RI. Saya diminta berbicara dari sudut pandang sistem subak, dan sektor pertanian. Ada juga kolega yang presentasi dari sudut pandang sektor perhubungan dan pengelolaan sampah. Seperti biasa, saya blak-blakan tentang tiadanya keberpihakan pemerintah terhadap produsen di sektor pertanian.
Pemerintah lebih banyak berpihak pada konsumen, demi kepentingan menjaga inflasi, dan lain-lain. Sampai kapan petani harus dimiskinkan demi inflasi? Saya mengusulkan agar sawah dan subak di kawasan sarbagita yang masih tersisa, dilestarikan. Demi ketahanan/kedaulatan pangan dan kebudayaan Bali. Berbagai jalan tol yang dirancang, harus dibangun di atas lahan sawah. Jangan menghancurkan sawah.
Mungkin karena saya kelihatan galak, seorang pejabat teras meminta untuk berbicara. Dikatakan bahwa 50 tahun yang lalu, orang-orang berbicara serius tentang pertanian, karena sektor pertanian masih bernilai. Pejabat itu melirik saya, dan dengan berbasa-basi meminta maaf. “Maaf pak ya….” katanya. Lalu disampaikan berbagai argumentasi lainnnya.
Namun syukurlah, ia tidak secara spesfik mengatakan bahwa, karena saat ini sektor pertanian sudah tidak bernilai, lalu, apakah masih relevan untuk dipertahankan? Bila kalimat itu secara eksplisit dikatakan, maka saya akan menjawab. Apakah setiap sektor yang dianggap tidak bernilai, lalu sekalian harus dihancurkan? Sejelek-jeleknya sektor pertanian, sektor ini tetap bernilai untuk ketahanan/kedaulatan pangan dan untuk menjaga kebudayaan Bali. Karena kita belum terbiasa makan semen, aspal, dan beton.
Kalau saja sektor pertanian tidak ditekan-tekan oleh pemerintah, dan tidak di anak-tirikan, maka sektor ini pasti akan bernilai tinggi. Apalagi saat ini dunia sedang menghadapi era krisis pangan. Petani dan sektor pertanian harus berkorban dan harus “memberi” kepada bangsanya. Tujuannya, agar inflasi tidak melonjak. Kompensasinya, sektor pertanian seharusnya mendapatkan perhatian, agar sektor yang maha penting ini, tetap memiliki nilai.
Selanjutnya pada awal Desember yang baru lalu, saya mendapat kiriman data statistik Badan Pusat Statistik (BPS) Bali. Dalam laporannya, saya mencatat bahwa Nilai Tukar Petani (NTP) tetap saja konsisten, yakni nilainya 96. Artinya di bawah 100. Artinya sektor pertanian tetap sebuah sektor yang merugi. Di samping itu, saya juga masih ingat bahwa sumbangan sektor pertanian pada PDRB Bali terus saja menurun, yakni kini hanya tinggal lebih kurang 12 %.
Kalau begini keadaannya, maka data di atas menunjukkan makna bahwa, petani memang enggan untuk bertani. Apalagi harga saprodi terus menanjak. Logikanya, siapa lagi yang tahan untuk bertani, bila merugi terus-menerus?
Kesempatan ini pasti akan digunakan oleh kapitalis untuk menghantam sawah dan subak habis-habisan. Oleh karenanya, sangat wajar kalau BPS mencatat bahwa harga beras semakin mahal dan terus menanjak. Karena penawaran berkurang dan permintaan meningkat.
Di samping harga beras, harga kedele juga semakin menanjak, dan sangat tergantung pada impor. Stok kedele juga turun, dan pedagang tahu-tempe menjerit. BPS mencatat bahwa harga beras pada bulan September adalah Rp.11.937/kg (sebelumnya hanya Rp. 11.600/kg), dan pada bulan Nopember melonjak menjadi Rp. 11.877/kg.
Sesuatu yang aneh juga terjadi. Sementara BPS mencatat harga beras meningkat, tetapi harga gabah kering giling (GKG) di tingkat petani justru turun. Harga di tingkat grosir dan pedagang eceran justru naik. Harga di tingkat petani turun 1,79%, tetapi harga di tingkat grosir dan tingkat konsumen naik masing-masing 0,6% dan 0,4%.
Data di atas mengandung makna bahwa petani kita menjadi ajang permainan para tengkulak/pedagang grosir. Sungguh kasihan para petani kita. Mereka yang sudah miskin, harus bertarung sendirian. Padahal, kaum tani sudah tidak memiliki kemampuan untuk bertarung. Karena mereka sudah capek melawan kemiskinannya. Kelembagaan petani juga sangat lemah. Seperti pendapat Prof. Tum (pemenang hadiah nobel dari Venezuela), bahwa harapan satu-satunya dari sektor pertanian adalah mendapat proteksi dan subsidi dari pemerintah.
Kalau pemerintah juga tidak hirau (hanya maunya bermain aman), maka sektor pertanian akan tergilas oleh globalisasi. Bila hal ini betul-betul terjadi, maka satu-satunya jalan adalah, bahwa kita harus mulai mendidik anak dan cucu kita untuk “belajar” makan semen, besi, beton, dan aspal jalan tol.
Data dan fakta di atas tampaknya juga menunjukkan bahwa, sektor pertanian memang sudah dianggap tidak bernilai lagi. Para pengambil keputusan tampaknya sudah bosan mengurus pertanian. Hal ini terbukti dari kebijakan politik anggaran pemerintah. Mengapa hal ini terjadi? Mungkin karena sektor pertanian tidak banyak ada kemampuan untuk mengumpulkan suara pemilih, jangka waktu keberhasilan akan sangat lama, dan tampaknya para elit enggan bergaul/berkumpul dengan orang-orang yang miskin dan kotor (wong cilik). Karena dianggap tidak ada manfaat politik praktis.
Lalu, apa harapan kita kepada pemerintah ? Tampaknya nyaris tidak ada. Mungkin kita hanya bisa menunggu siklus politik. Di mana pada saatnya harga beras akan membubung tinggi, inflasi akan membumbung tinggi, ada demo besar-besaran, dan pemerintah akan jatuh. Kemudian akan muncul kebijakan pemerintah yang baru, yang memihak pada produsen di sektor pertanian. Mudah-mudahan pada saat itu, masih ada sawah yang tersisa untuk bertani. Kalau tidak, mungkin terpaksa jalan-jalan tol yang dibangun harus dihancurkan dan dikembalikan sebagai kawasan ladang dan sawah.
*) Penulis, adalah Guru Besar (Emeritus) pada Fak. Pertanian Unud, dan
Ketua Stispol Wira Bhakti.