Oleh: Putu Suasta*)
Saya sebelumnya pernah menguraikan secara sosiologis proses panjang ketergantungan industri makanan di Indonesia pada gandum dan bahan-bahan pangan impor lainnya.
Ketergantungan itu semakin besar kalau menelusuri lagi penggunaan gandum untuk sektor peternakan. Dari berbagai sumber menunjukkan, produsen pakan ternak kerap mengganti jagung (di saat langka dan mahal) dengan gandum sebagai sumber karbohidrat dalam susunan pakan modern (pabrikan).
Beberapa tahun lalu, kelangkaan jagung secara mudah diatasi dengan membuka keran impor sebesar-besarnya. Bagi produsen pakan pabrikan, jagung impor memberi keuntungan ganda yakni dari segi ekonomi (harga lebih murah) dan dari segi kualitas (lebih baik dari kualitas jagung lokal).
Praktek ini membuat para petani jagung dalam negeri menjerit karena harga jagung lokal terjun bebas hingga tak sepadan dengan ongkos produksi. Di mata politisi populis, jeritan masyarakat adalah tambang pencitaraan. Maka solusi yang dihasilkanpun lebih bernuansa populis tanpa visi jangka panjang.
Keran impor jagung dibatasi dengan sangat ketat. Harga jagung lokal melonjak tinggi dan seringkali menjadi langka. Ini solusi jangka pendek yang menghasilkan pujian setinggi langit.
Tapi segera tiba waktunya harga jagung lokal turun hingga di bawa titik impas harga produksi karena produsen pakan pabrikan segera mencari alternatif dari jagung yang semakin sulit dikendalikan harga dan ketersediaannya. Pilihannya jatuh ke gandum. Karena itulah impor gandum Indonesia membubung tinggi dalam beberapa tahun terakhir dan stok gandum dalam negeri terus menipis.
Kebijakan proteksionisme melalui pembatasan impor secara ketat tentu saja langkah yang baik. Tapi tanpa dibarengi dengan upaya-upaya pengurangan ongkos produksi di tingkat petani, kebijakan seperti itu tidak akan bisa bertahan dalam jangka panjang. Perlu intervensi serius dari pemerintah untuk membuat produk pertanian tetap dapat menyejahterakan petani tanpa harus melambungkan harga.
Teknologi pertanian Indonesia yang tertinggal jauh, SDM petani yang kurang memadai untuk menjalankan usaha agrikultur modern dan harga-harga pupuk, pestisida serta kebutuhan-kebutuhan pertanian lainnya yang relatif mahal, membuat ongkos produksi di tingkat petani menjadi tinggi.
Intervensi pemerintah semestinya juga mencakup proses produksi di tingkat petani tersebut melalui penyediaan alat-alat modern, penyuluhan pertanian, subsidi pupuk dan sebagainya.
Dengan demikian petani tetap dapat menikmati keuntungan yang menyejahterakan tanpa melambungkan harga produk. Tanpa langkah-langkah tersebut, pembatasan impor hanya solusi jangka pendek dan hanya alat politik populisme (pencitraan).
Kebijakan-kebijakan populis dengan visi jangka pendek seperti tergambar dalam penanganan persoalan jagung beberapa tahun lalu juga terekam dalam kebjiakan-kebijakan terhadap komoditi pangan lainnya.
Kita tidak pernah menemukan adanya upaya serius dan terukur dari pemerintah untuk mendorong masyarakat semakin menggemari makanan-makanan berbahan lokal seperti sagu, ubi, talas, jagung dan sebagainya.
Diversifikasi pangan di Indonesia pada prakteknya selalu melibatkan pangan berbahan impor. Anjuran untuk mencintai bahan-bahan pangan lokal hanya bisa kita temukan dalam retorika-retorika politik populis, bukan dalam program-program (kebijakan) yang dijalankan dengan target-target terukur.
Nuansa kebijakan populis itu juga kita temukan dalam program ketahanan pangan yang sekarang sedang hangat diperbincangkan secara luas yakni “food estate”. Terlepas dari banyaknya kritik atas kegagalan program tersebut mencapai target yang dicanangkan. Sejak dalam rancangan kita bisa melihat bahwa program seperti itu lebih berdimensi populis, bukan solusi serius atas ketergantungan Indonesia terhadap bahan-bahan pangan impor.
Konsep ketahanan pangan dewasa ini tidak lagi hanya mengukur ketersediaan bahan pangan dalam sebuah negeri sehingga dapat mencegah terjadinya kelaparan.
Ketahan pangan juga mengukur sejauh mana ekonomi sebuah negara dapat bertahan dari hantaman gejolak harga pangan global. Dalam perspektif ini, seandainya “food estate” berhasil mencapai target (stok pangan dalam negeri melimpah) kita tetap sangat rentan terhadap gejolak harga pangan dunia karena ketertangungan masyarakat terhadap makanan-makanan berbahan impor (terutama gandum) semakin tinggi dari waktu ke waktu. Jika pelaku industri tak mampu lagi membeli gandum, kedelai dan bahan-bahan pangan impor lainnya, gejolak ekonomi akan terjadi di negeri ini.
Ketergantungan terhadap pangan berbahan impor pada akhirnya juga akan mengganggu upaya kita menyuskeskan program ketahanan energi. Pengurangan ekspor energi untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri tidak mungkin bisa dijalankan pemerintah dengan mulus dalam jangka panjang, karena produsen-produsen gandum (Barat) dan bahan-bahan pangan impor lainnya akan memberikan tekanan melalui langkah serupa (pengetatan ekspor ke Indonesia). Skema ini akan membuat posisi Indonesia terus melemah dalam tatanan geopolitik pangan global.
Kita mungkin akan sangat kesulitan mengikuti langkah Cina yang berhasil menyukseskan produksi gandum dan komoditi lainnya yang sebelumnya diimpor dari negara-negara lain. Keberhasilan tersebut membuat Cina tidak lagi tergantung pada negara manapun dalam sektor pangan.
Langkah tersebut tentu akan sulit dicapai Indonesia. Maka satu-satunya langkah terukur yang bisa dijalankan Indonesia adalah mendorong kemandirian pangan dengan mendorong masyarakat lebih menggemari pangan berbahan lokal. Dalam kaitan itu, kemandirian petani mesti terus didukung.
Maka konsep-konsep industrialisasi sektor pertanian seperti food estate sudah waktunya ditinjau ulang. Food estate merupakan proyek pertanian skala industri yang membatasi kemandirian petani karena lahan yang bisa mereka kelola secara mandiri semakin menyempit, diambil alih oleh proyek food estate dan berbagai proyek industrialisasi lainnya.
*) Alumnus UGM dan Cornell Univerity AS