Gede Ngurah Wididana (tengah) bersama tim media sosilal PT Songgolangit Persada di Jakarta.

Oleh: Dr. Wididana )*

Setelah tamat menyelesaikan kuliah di Universitas Udayana pada 1985, saya pergi ke Bandung naik bis lorena yang lagi ngetop saat itu, dengan tujuan melihat pertanian dan perkebunan yang ada di Jawa Barat. Saya menginap di tempat kost teman yang sedang kuliah di ITB (Institut Teknologi Bandung) dan ikut merasakan keceriaan hidup dan keseriusan mereka belajar selama seminggu.

Kemudian saya pergi ke Jakarta ke daerah Pasar Minggu dan di sana saya menginap selama satu minggu di rumah saudara misan dengan tujuan keliling kota Jakarta dengan naik bis dan Metro mini (angkutan kota mini bus). Modal saya cuma mengingat nomor bis ke tujuan tertentu dan kembali lagi ke pasar minggu.

Setelah puas keliling kota, seminggu kemudian saya balik ke Denpasar naik bis lorena. Dari sana saya mendapatkan inspirasi, bahwa suatu hari saya akan bekerja di Jakarta, entah bekerja apa, saya siap memulai dari titik nol.

Benar saja, setahun kemudian, saat saya sedang asyik bertani cabe, bawang, kacang tanah, di tanah pertanian seluas satu hektar, di kaki Gunung Batur, Kintamani, Kabupaten Bangli, Bapak STA (Sutan Takdir Alisjahbana), pemilik Hotel Toya Bungkah menawarkan saya bekerja sebagai pengelola kebun di Gunung Putri, Bogor, dan langsung saya sambut tawaran kerjanya.

“Berapa gaji yang kamu mintaā€¯?, tanya Pak Takdir. Saya jawab, “terserah.” Seminggu kemudian saya dengan istri pergi ke Jakarta naik bis lorena dengan membawa beberapa tas besar yang berisi pakaian, makanan, buku dan beberapa peralatan dapur, seperti orang berangkat pergi transmigrasi. Ayah dan ibu mengantar sampai terminal bis Ubung, Denpasar, dengan doa dan harapan, atas keberanian saya merantau.

Suka duka hidup di Jakarta selama sepuluh tahun saya nikmati. Kemacetan lalu lintas dan saling berdesakan di kereta dan mobil angkutan kota, yang penuh perjuangan cukup seru saya alami. Dua orang anak saya, yang pertama dan ketiga lahir di Jakarta, dan anak saya yang kedua lahir di Jepang.

Masa kecil mereka banyak yang terlewatkan, karena saya sibuk bekerja dan hilir mudik menyusuri belantara Jakarta. Sampai akhirnya saya putuskan kembali ke Denpasar, untuk bekerja apa saja, saya ingin bekerja lebih rileks, tidak diburu waktu.

Empat puluh tahun kemudian, entah sudah berpuluh-puluh kali saya mondar-mandir antara Jakarta-Denpasar untuk urusan bekerja, hari ini saya menyusuri kemacetan lalu lintas Jakarta dengan naik taksi, keliling kota bersama anak saya yang keempat yang berumur 21 tahun, sambil menjelaskan kepada anak saya, tentang apa, kemana dan bagaimana saya merantau di Jakarta empat puluh tahun yang lalu.

Akhirnya saya terdampar untuk makan malam di restoran Betawi di Pasar Minggu. Saya memesan Laksa, makanan ketupat kuah santan dengan sayur taoge mentah, yang harganya 50 ribu rupiah. Saya teringat kepada pedagang asong laksa di pinggir stasiun kereta di Pasar Minggu di tahun 1980-an, yang harganya 200 rupiah per porsi.

Saya merasakan laksa di pinggir stasiun lebih nikmat daripada di restoran, rasa kuah dan bumbunya lebih segar mantap, serta senyum dan pelayanan bapak dan ibu pedagang laksa itu lebih sederhana, apa adanya. Saya rindu akan kesederhanaannya.linktr.ee/pakolescom

)* Direktur Utama PT Karya Pak Oles Group

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini