Kamis siang akhir November itu, Bene dan puluhan orang lain berkumpul di Balai Dusun Bekkeiluk, Desa Munte, Siberut Selatan, Kepulauan Mentawai, untuk belajar membuat pupuk organik dari limbah tanaman. Dusun Bekkeiluk dihuni 27 keluarga, dengan 104 Suku Sagulu, Salimu, Tatebburuk, Sanambaliu, Sapeai dan Sagoisokuma. Bagi orang pedalaman Mentawai, memupuk tanaman adalah hal tak umum mereka lakukan. Mereka tanam alami saja. Kini, mereka perlu agar hasil lebih banyak.
Di Bekkeiluk, banyak limbah organik bisa diolah menjadi pupuk cair, dan kompos. Menurut Reza, pupuk organik lebih ramah lingkungan dan tak mengganggu umur tanaman dibanding semprotan pestisida atau pupuk kimia. “Kalau pakai pupuk kimia tanah akan jadi gersang, tak bisa diolah. Petani bisa keluarkan modal banyak buat beli pupuk kimia,” katanya.
Daun pohon trembesi yang banyak tumbuh di halaman warga juga bisa jadi kompos, karena kaya fosfor pengganti urea. Pupuk kompos juga bisa dari batang pisang, rumput, limbah dapur, buah-buahan, ampas sagu, dicampur air dan tanah. Reza juga mengajarkan bagaimana membuat pupuk NPK dari batang pisang yang dicacah dicampur serabut kelapa, air dan tambahan pupuk cair EM4.
Kata Anjelo Sapeai, warga Bekkeiluk, mereka hanya tahu cara menanam. “Yang butuh perawatan itu cabai, karena sini daerah banjir. Kalau ubi rambat kebanjiran tak masalah, habis dipanen juga masih tumbuh.” Tarida Hernawati, Program Manager Program Peduli Kemitraan melihat Bekkeiluk memiliki banyak potensi alam yang bisa meningkatkan hasil produksi pertanian tetapi teknologi dan pola pertanian masih sulit.
Potensi pupuk organik besar tetapi warga masih sedikit mengetahui soal ini. Orang Mentawai malah mengenal pupuk kimia yang banyak dijual di ibukota kecamatan. Ida khawatir penggunaan pupuk kimia dan pestisida akan menambah masalah baru dan membuat ketergantungan serta warga harus mengeluarkan biaya tinggi.
Lewat program peduli, mereka mendorong pengembangan pertanian organik, sesuai budaya masyarakat Mentawai yang gemar menanam.
Menurut dia, selain pisang dan sagu, tanaman muda seperti sayuran berpotensi untuk meningkatkan gizi dan ekonomi keluarga. “Di beberapa tempat telah dicoba dan berhasil,” katanya. Seperti yang diulas website mongabay.co.id
Meski berlimpah sumber alam, tetapi membangun pertanian organik tak mudah. Ida mengaku mengalami banyak hambatan, seperti geografis dan cuaca tak menentu. Bagi orang pedalaman pembuatan pupuk organik masih hal baru.
Budaya orang Mentawai multikultur, membuat mereka tak bisa fokus. “Mereka punya ladang sagu, ladang durian, pohon buah-buahan dalam hutan, mereka juga harus mengelola pangan lokal, pisang, keladi, mereka harus bekerja di sungai untuk kecukupan protein,” katanya.
Kondisi inilah yang membuat orang Mentawai tak fokus pada satu komoditas. “Dulu pernah booming kakao mereka tinggalkan yang lain, coba fokus ternyata alam dan iklim tidak cocok. Hanya dua tahun pertama buah bagus.”
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo punya program cetak sawah untuk ketahanan pangan tetapi kebutuhan orang di Bekkeiluk tak bisa dicukupi hanya dari sawah. Menurut Ida, pertanian multikultur masih hidup dan berkembang di kehidupan orang Mentawai. Mereka tak bisa dipaksa menjadi petani monokultur.