Pengembangan Pertanian Sebelum Perang Dunia II Secara Tradisional

0
119
Petani sedang memanen buah semangka dikawasan, Renon, Denpasar.

Pembangunan bidang pertanian di sebagian besar negara di belahan dunia, sebelum perang dunia II, petani kebanyakan mengusahakan lahan garapan secara tradisional, yang belakangan ini dinilai sebagai usaha pertanian yang alami apa adanya (nature).

“Padahal tidaklah demikian, karena teknologi tradisinal itu jalan di tempat, sedangkan teknologi alam adalah teknologi canggih, selalu berubah menuju ke arah kemajuan,” kata Instruktur Effective Microorganisms 4 (EM4) pada Institut Pengembangan Sumber Daya Alam (IPSA) Bali, Ir. I Gusti Ketut Riksa.

Ia mengungkapkan, penemuan para peneliti yang dikatakan lebih baik pun tidak  langgeng, karena yang langgeng itu hanyalah ciptaan dan milik Tuhan Yang Maha Esa. Orang bijak mengatakan bahwa kehidupan di dunia maya ini diibaratkan sebagai roda pedati yang selalu berputar.

“Oleh sebab itu manusia, kita harus selalu siap menghadapi perubahan demi perubahan itu. Para ahli hanyalah akan menemukan sesuatu yang mendekati kebenaran, namun apa yang ditemukan itu jangan menyimpang dari hukum alam. Hati-hatilah menghadapi perubahan karena perubahan itu belum tentu membawa kita ke arah yang lebih baik,” ujar Gusti Ketut Riksa.

Pada saat melaksanakan teknologi tradisional, banyak negara mengalami keterbatasan pangan bahkan menutupi kekurangan bahan pangannya melalui impor dari negara-negara donor, karena teknologi tradisional selama bertahun-tahun tanpa kemajuan yang berarti.

Namun  di lain pihak penduduk dunia populasinya terus bertambah, yang mengharuskan penyediaan bahan pangan yang bertambah. Ternyata negara yang kuat adalah negara agraris bukan negara industri, perdagangan maupun yang pertahanannya hebat. Karena pada ahirnya siapun tidak kuat menahan perut lapar.

Setelah perang dunia II, Jepang dipaksa harus menyerah kepada Sekutu bertepatan dengan jatuhnya dua buah bom atom di Nagasaki dan Hirosima yang menyebabkan Jepang harus betekuk lutut, saat itulah dunia berbalik pandang mengalih pada “kimia”. 

Dapat dikatakan sejak itu pula dunia mulai menerapkan teknologi kimia di bidang pertanian dengan menggunakan pupuk, pestisida dan hebisida kimia sinthetis. Tahap awal teknologi ini memang membuahkan hasil, banyak negara merasa tertolong dengan pertanan kimia dan petaninyapun sangat menyenangi teknologi tersebut.

Karena kandungan bahan organik masih tinggi, jika diberikan sedikit ZA maupun urea tanaman padi tumbuh subur, dengan pemberian pestisida dan herbisida kimia hama penyakit dan tanaman pengganggu tidak mengganggu lagi, produksi pertanianpun mengalami peningkatan.

Menurut Gusti Ketut Riksa, namun hal itu harus diingat, bahwa yang berlaku di alam adalah hukum alam. Temuan baru yang tidak sesuai dengan hukum alam, cepat atau lambat akan menyebabkan kerugian di tempat lain dan kerugian itu akan lebih besar dari apa yang telah diperoleh sebelumnya. Teknologi kimia di bidang pertanian bukanlah teknologi alam, tetapi merupakan rekayasa manusia di laboratorium, tutur Gusti Riksa.https://linktr.ee/em4

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini