Staf Ahli PT Songgolangit Persada, Ir. I Gusti Ketut Riksa menilai, sektor pertanian yang terpatri sejak dirinya masih kecil, yang kini telah berusia 80 tahun, hidup sebagai seorang petani adalah kehidupan yang paling “mesari” atau berkah.
“Berkah dari yang Maha Kuasa didapatkan petani melalui berbagai pengorbanan atau kerja keras dari meremas kotoran sapi untuk pupuk, berjemur di panas matahari untuk mencangkul mengolah tanah, menyiang sampai panen tiba,” tutur Gusti Ketut Riksa yang juga Instruktur Effective Microorganisms 4 (EM4) pada Institut Pengembangan Sumber Daya Alam (IPSA) Bali.
Ia mengatakan, semua usaha yang dikerjakan petani tanpa mengenal hujan dan terik matahari, tidak mengenal lelah dan tidak bisa ditunda. Lebih dari itu semua pekerjaan dilakukan dengan tulus ikhlas. Pada kondisi seperti itu, konon energi ilahi tercurah pada petani karena menciptakan produk pangan dari yang tidak ada menjadi ada guna menghidupi semua makluk.
Hidup dari hasil pangan industri kurang mesari dibandingkan bertani karena sebagian tenaga yang digunakan untuk menghidupi keluarga adalah tenaga mesin, bukan dari keringat sendiri. Yang lebih jauh dari mesari ialah hidup dari sektor jasa, seperti contoh dengan membungakan uang, hanya dengan ongkang-ongkang kaki bisa memperoleh bunga uang, semua itu akan mudah dan cepat habis.
Begitu pula dalam dunia pertanian, pertanian organik jauh lebih lestari ketimbang pertanian kimia yang polutif dan hanya mengandalkan kerja mesin. Kawasan hutan yang belum dijamah manusia, semua jenis tanaman bisa tumbuh subur. Tanaman tinggi dan rendah sama-sama berbagi sinar matahari karena yang tinggi berdaun sempit, yang rendah seperti pisang dan keladi berdaun lebar.
Yang kecil membelit yang besar untuk menumpang memperoleh sinar matahari dan semua bisa sama-sama hidup. Daun yang berguguran diolah mikroba terus jadi nitrisi untuk tanaman. Belum pernah (sekalipun) tersiar berita bahwa hutan ludes karena serangan hama atau penyakit meskipun tanaman di hutan tidak pernah dipupuk dan tidak pernah disemprot. Yang organik alami itulah yang tetap lestari.
Subak
Gusti Ketut Riksa menambahkan, sistem pertanian tradisional dalam bidang pertanian (subak) yang diterapkan secara turun temurun di Bali berbasis sosio agraris berkat religius, menjadi tenar sejak zaman dulu hingga sekarang.
Religi pada sektor irigasi hanya ada di Bali yang kemudian diakui sebagai salah satu kearifan lokal. Sebagai masyarakat religi yang berbudaya subak harus tetap dilestarikan dan dipertahankan agar tidak ternoda, rusak dan musnah.
Bali memang terkenal dengan religi dan dengan religi pula, Bali hidup dengan budaya yang religius, pariwisata berkembang seiring dinamisasi budaya yang turut mewarnai perubahan.
Sektor pariwisata berpengaruh kuat terhadapo pertanian dan subak, meski pariwisata Bali itu soaal pariwisata budaya, namun budaya pertanian ikut tergerus karena imbas perubahan tersebut.
Gusti Ketut Riksa menambahkan, Sejak zaman penjajahan Belanda subak lebih dikenal di berbagai negara di belahan dunia. Subak Jatiluwih di Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan misalnya dinyatakan sebagai warisan dunia (UNESCO World Hertage), suatu pertanda dunia turut menyayangi subak di Bali.
Subak Jatiluwih memiliki hamparan seluas 636 hektyar berupa terasering yang sangat indah dengan produksi beras merah organik yang menerapkan sistem irigasi subak.
Masyarakat Bali jelas bangga dengan penghargaan tersebut, namun sangat disayangkan subak di tempat lain terdegradasi. Sekitar 1.000 hektar sawah setiap tahunnya di Bali beralih fungsi sebagai tanda subak dalam kehancuran, tutur Gusti Ketut Riksa.https://linktr.ee/em4