Oleh: Ir. I Gusti Ketut Riksa *)
Subak Rijasa di Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan, Bali meraih prestasi gemilang, berhasil keluar sebagai juara pertama tingkat nasional lomba Supra Intensifikasi usus (Insus) tahun 1979 dengan produksi padi paling tinggi dibandingkan dengan sawah-sawah lainnya yang ada di seluruh daerah di Nusantara.
Organisasi kesehatan dunia (WHO) pun terheran-heran karena, Indonesia pernah menjadi pengimpor beras terbesar di dunia tahun 1976, dengan mengimpor dua pertiga dari surplus dunia menjadi negara yang swasembada beras.
Bukan saja birokrasi, para patani, masyarakat dan semua pihak menjadi terkesimak, karena menggunakan pupuk, pestisida dan herbisida kimia pengaruhnya tehadap tanaman sangat instan, tanaman kalihatan lebih subur, hama dan penyakitnya cepat terbasmi.
Banyak kalangan justru menganggap bahwa keterbatasan pangan telah dapat diatasi dengan menerapkan teknologi kimia. Petani menjadi terkesimak karena kondisi itu, baru kali itu mereka rasakan setelah bertahun-tahun melaksanakan pertanian tradisional.
Cara bertani seperti itu telah membahagiakan hati para petani, sampai petani menjadi maniak dengan pupuk dan pestisida kimia. Namun perlu diingat bahwa yang serba kimiawi itu tidak bisa dibuat sendiri oleh petani yang mengakibatkan mereka terus menunggu pasokan zat kimia dari pemerintah.
Keterlambatan pasokan pupuk dan pestisida kimia menyebabkan petani mengeluh dan kecewa bahkan unjuk rasa dan berdemonstrasi. Kondisi ini masih beberlanjut sampai sekarang. Dunia semakin maju, penduduk semakin kritis, banyak temuan lama mulai diragukan, akankah pertanian kimia akan tumbang lagi? mengapa?.
Teknologi kimia yang diterapkan lebih dari 50 tahun telah menurunkan sifat fisik biologi dan kimia tanah; menurunkan kandungan bahan organik tanah, menurunkan kandungan vitamin hormun dan antioksidan bahan pangan bahkan terkontaminasi dengan kimia berbahaya.
Ketahuilah bahwa tingkat produksi tanah berbanding lurus dengan kandungan bahan organiknya, yakni semakin tinggi kandungan bahan organik semakin tinggi pula kualitas dan kuantitas produksinya. Dengan semakin merebaknya pertanian kimia, bahan organik di kesampingkan, petani hanya memprioritaskan penggunaan zat kimia karena aplikasinya di lahan sangat mudah.
Mekanisasi berkembang, ternak sapi pun berpindah ke kandang koloni, karena petani kalah bersaing; dengan pemodal besar persediaan dan penggunaan bahan organik semakin berkurang. Lahan pertanian sekarang sudah dapat dikatagorikan sebagai “lahan sakit” bahkan di negara sakura dinyatakan lahan pertaniannya telah “sakit keras”.
Oleh sebab itu banyak lahan pertanian beralih fungsi menjadi non pertanian karena produksinya tidak sebanding lagi dengan biaya poduksi. Menurut United States Department of Agriculture (USDA), kandungan bahan organik tanah pertanian di Amerika Serikat sebelum perang dunia II malah lebih dari 60%, sekarang tinggal 5% saja.
Di Indonesia meskipun penggunaan teknologi kimia lebih lambat dari negara-negara lainnya, kandungan bahan organik sawah sudah kurang dari 5%. Ini menandakan saat melaksanakan teknologi kimia, kita memaksa lahan sawah tiga kali tanam padi setahun dengan dosis penggunaan teknologi kimia yang cukup berat, yakni dengan dosis anjuran urea 4 ton, phosfat 2 ton dan kalium 1 ton setiap hektarnya.
Konsekwensi yang sulit dihindari antara lain rusaknya struktur tanah, menurunnya kuantitas dan kualitas produksi pangan, hama dan penyakit dibidang pertanian merajalela, terjadinya pencemaran tanah, air dan udara, penyakit baru bermunculan. Dengan penerapan peranian organik, akankah struktur tanah membaik, konsumsi penduduk dunia tercukupi, bebas dari pencemaran, dunia dan segenap isinya bisa sejahtera? kita lihat saja 50 tahun mendatang.https://linktr.ee/em4
*) Staf Ahli PT Songgolangit Persada dan Instruktur Effective Microorganisme (EM) pada Institut Pengembangan Sumber Daya Alam (IPSA) Bali. Yang melatih generasi milenial tentang pertanian organik berbasis EM4.