Oleh : Ir. I Gusti Ketut Riksa *)
Saya tidak bermaksud untuk mengkultus indifidukan Prof.DR Teruo Higa, namun karena beliau sejak kecil hidupnya selalu di pertanian menjadi lektor pun di Fakultas Pertanian, dan pada ahirnya menemukan teknologi Effecive Microorganisms (EM), ini berarti beliau sangat banyak pengalaman dalam bidang pertanian.
Berbeda dengan orang-orang yang hanya mengenal teori tanpa pengetahuan praktis. Seperti yang sering terjadi, mungkin temuan-temuannya mulai berasal dari ucapan-ucapan yang berbau dogmatis berubah jadi peribahasa berubah lagi menjadi filsafat dan akhirnya menjadi pengetahuan ilmiah, (ini menurut pendapat saya) dimana teknologi inilah yang saya anggap menjembatani antara filsafat dengan Ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), karena banyak temuannya yang menyebabkan saya terperangah.
Pada ahirnya banyak temuan beliau yang cukup mengagumkan sehingga teknologi EM sangat terkenal ke seluruh pelosok dunia. Hal-hal itulah yang memberikan kesan husus terhadap saya. Yang saya kagumi lagi ialah cara mengembangkan temuan yang begitu masif sehingga teknologi ini sangat cepat dapat mengikat hati ilmuan dunia serta turut mendukung penelitiannya dengan membentuk lembaga-lembaga pengembangan dimasing-masing negara. Sekarang ilmu EM telah menjadi milik dunia.
Saya memiliki pengalaman yang mungkin dapat dikatagorikan pada kelompok nature, regenerasi, biodinamik, biological, ecological, saya tidak mengetahuinya, namun kondisi ini sangat viral di kalangan petani pemelihara sapi. Petani Bali sangat teliti memilih sapi yang akan dipelihara dan dianggap sebagai teman hidupnya dipertanian.
Salah satu contohnya diperlihatkan oleh strain sapi yang disebut “sapi sengseng catu”. Sengseng berarti tutup sedangkan catu merupakan peralatan dari batok kelapa untuk memindahkan beras dari suatu tempat ke tampat lain. Agar alat ini ergonomis waktu digunakan, didasarnya dibuat lubang untuk menutupnya dengan jari tengah. Strain sapi ini sedikit berbeda dengan sapi-sapi biasanya karena dipangkal ekornya tumbuh daging sebesar setengah bulatan bola tenis.
Daging ini bukanlah jenis kanker, tonjolan daging ini baru kelihatan bila ia sedang berak karena saat sapi ini berak ia mengangkat ekornya tinggi-tinggi agar kotorannya bisa keluar. Kesehariannya tonjolan daging ini persis menutupi lubang duburnya dan inilah keunikannya.
Kita ketahui bahwa sapi Bali merupakan lini murni dari plasmanutfah Bos Sondaicus, dimana strain ini memiliki genetika yang spesifik. Sapi strain ini hargaya dibandrol 2 kali lipat dari harga sapi biasanya. Mengapa semahal itu, inilah yang perlu diteliti.
Konon kotoran sapi ini sangat subur, berbeda dengan kotoran sapi biasanya, oleh sebab itu harganya mahal, dicari oleh petani pedesaan karena telah terkenal bahwa tanah garapannya berproduksi jauh lebih tinggi dari produksi tetangganya pada luasan yang sama. Sesama sapi pun kandungan nutrisi kotorannya ditenggarai bisa berbeda.
Yang cukup menyedihkan ialah adanya revolusi besar besaran dipeternakan dimana peternakan sapi sekarang didominir oleh pemodal besar berupa kandang koloni yang mengakibatkan banyak petani kalah bersaing, akibatnya tidak lagi memelihara sapi, ahirnya strain sapi ini tidak kelihatan lagi dan mungkin sudah punah. Isu ini telah saya dengar pada saat saya masih kecil dimana sawah saya berdampingan dengan pemilik sapi seng-seng catu.https://linktr.ee/em4
*) Staf Ahli PT Songgolangit Persada dan Instruktur EM pada Institut Pengembangan Sumber Daya Alam (IPSA) Bali di Desa Bengkel, Busungbiu, Kabupaten Buleleng.