Budidaya udang vaname jenis air tawar dipadukan dengan ikan nila dalam areal tambak seluas satu hektar dengan sentuhan Effective Microorganisms 4 (EM4) periknanan mampu memberikan hasil melipah, berkat sekali panen menghasilkan dua komoditas yakni ikan nila dan udang vaname.
Dalam lahan tambak seluas satu hektar itu lebih awal ditebarkan benih udang sebanyak 150.000 ekor, menyusul tiga hari kemudian bibit ikan nila sebanyak 25.000 ekor, berkat perlakuan probiotik ramah lingkungan kedua jenis ikan saling berkembang menguntungkan satu sama lainnya, dapat dipanen pada waktu bersamaan dalam empat bulan.
Pertanian terpadu untuk sektor perikanan yakni budidaya udang vaname dan ikan nila mampu mengangkat kesejahteraan petani ikan air tawar seperti yang dilakukan Mohammad Fauzan dari Desa Sembayat, Kecamatan Manyar, Kabupaten Gresik, Jawa Timur, saat menerima kunjungan tim youtube EM Indonesia Official baru-baru ini.
Sosok pria berusia 43 tahun, suami dari Nyonya Mustafidah itu meraih sukses dari usaha memelihara udang vaname dan ikan nila dalam waktu yang bersamaan berkat manfaat keunggulan EM4 produksi PT Songgolangit Persada.
Salah satu unit usaha tambak itu siap panen dalam waktu empat bulan mampu menghasilkan produk ikan dan udang yang melimpah bernilai ratusan juta rupiah, bahkan dalam setahun bisa panen 3-4 kali, tentu nilainya semakin menggiurkan.
Ayah dari empat anak yang menampung 20 tenaga kerja itu juga mengelola toko pertanian yang melayani perjualan sarana produksi yang dibutuhkan petani sekitarnya. Demikian pula menggarap lahan pertanian untuk mengembangkan tanaman padi organik dipadukan dengan pemeliharaan udang vaname air tawar juga memanfaatkan EM4 pertanian.
Upaya dan kenyataan yang mampu diwujudkan oleh M. Fauzan dalam mengangkat harkat dan tingkat kesejahtraan petani, mendapat apresiasi dari Direktur Utama PT Songgolangit Persada Dr. Ir. Gede Ngurah Wididana, M. Agr yang juga pakar dan pelopor pertanian organik di Indonesia.
Untuk mendukung pengembangan pertanian organik, memang perlu menciptakan sistem pertanian terpadu, yakni dalam lahan pertanian ada unit-unit usaha yang saling mendukung untuk menciptakan produktivitas pertanian yang tinggi.
Semua itu dapat dilakukan dengan cara mengusahakan sektor peternakan, perikanan, dan pertanian tumpang sari yakni menanam berbagai jenis tanaman dalam lahan pertanian yang sama atau mengembangkan beberapa jenis ikan di areal kolam yang hidup saling mendukung satu sama lain seperti yang telah dirintis oleh M. Fauzan.
Dengan sistem pertanian terpadu, limbah pertanian bisa dimakan ternak ikan, limbah ternak dan ikan bisa digunakan sebagai pupuk organik. Contoh praktis yang sering diterapkan petani selama ini adalah beternak ayam, kambing, sapi yang diusahakan dalam lahan pertanian yang sama, dan praktis mina padi (ikan-padi) di sawah.
Untuk meningkatkan produktivitas ternak, ikan dan tanaman, didukung dengan menerapkan EM yang sangat berperan untuk mengolah limbah ternak dan ikan (tanah endapan kolam) untuk pupuk, sehingga produksi ternak menjadi meningkat, berkat ternak pertumbuhan berat badannya lebih cepat dan sehat.
Demikian juga tanah pertanian menjadi subur berkat mendapatkan pupuk organik yang berlimpah. Dengan sistim pertanian terpadu dan teknologi EM, produktivitas pertanian, perikanan dan peternakan menjadi meningkat, menguntungkan, serta lingkungan pertanian menjadi lestari.
Gagasan dan Kreatif
Dr. Wididana, alumnus Faculty Agriculture University of The Ryukyus Okinawa Jepang menilai, mengembangkan pertanian organik memerlukan gagasan dan kreativitas, yakni menyediakan pupuk organik secara berkesinambungan, agar lahan pertanian tidak tergantung dengan pasokan pupuk organik dari luar.
Dengan demikian biaya operasional dapat ditekan atau biaya untuk membeli maupun membuat pupuk ramah lingkungan menjadi murah, sehingga memperoleh keuntungan yang berlipat. Atas dasar pemikiran tersebut terciptalah sistim pertanian terpadu (integrated farming system), yaitu di dalam lahan pertanian ada unit-unit pertanian yang saling mendukung untuk terciptanya produktivitas pertanian yang tinggi, dengan cara mengusahakan peternakan, perikanan, dan pertanian tumpang sari (menanam berbagai jenis tanaman dalam lahan pertanian yang sama).
Dengan sistem pertanian terpadu, limbah pertanian bisa dimakan ternak dan ikan, limbah ternak dan ikan bisa digunakan untuk pupuk. Contoh praktis yang sering diterapkan oleh petani adalah beternak ayam, kambing, sapi yang diusahakan dalam lahan pertanian yang sama, dan praktik mina padi (ikan-padi) di sawah.
Untuk meningkatkan produktivitas ternak, ikan dan tanaman, dibantu dengan menerapkan Effective Microorganisms (EM) yakni teknologi yang mudah, murah, hemat energi, ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Penerapan Teknologi EM sangat berperan penting, yakni dengan mengolah limbah ternak dan ikan (tanah endapan kolam) untuk pupuk, sehingga produksi ternak menjadi meningkat, karena ternak menjadi sehat dan tidak setres karena polusi.
Demikian juga tanah pertanian menjadi subur karena mendapatkan pupuk organik yang berlimpah. Dengan sistim pertanian terpadu dan Teknologi EM, produktivitas pertanian menjadi meningkat dan menguntungkan, serta lingkungan pertanian menjadi lestari.
Pertanian Zaman Dulu Lebih Unggul
Sementara Staf Ahli PT Songgolangit Persada, Ir. I Gusti Ketut Riksa menilai, pertanian tradisional Bali zaman dulu lebih baik dan unggul, memiliki tingkat kesuburan lahan yang lebih lestari serta peluang berproduksi yang lebih pasti dibanding pertanian modern sekarang ini.
Petani zaman dulu terutama yang menggarap lahan basah selalu memelihara ternak sapi untuk membantu mengolah lahan dan memanfaatkan kotorannya sebagai pupuk organik dan tabungan jika sewaktu-waktu butuh uang. Petani selain memelihara ternak sapi juga memelihara unggas, ayam dan ikan yang semua dilakukan di sawah sehingga tidak memerlukan biaya angkut kotoran hewan untuk pupuk organik.
Kencing sapi beserta kotoran padat langsung dikuras masuk ke sawah sehingga lahan sawah terus memperoleh asupan pupuk kandang sehingga menjadi bertambah subur. Modernisasi pertanian sekarang telah mengganti sapi dengan tenaga traktor, sehingga petani sekarang kebanyakan tidak lagi memelihara sapi atau kerbau.
Revoluasi besar-besaran sektor peternakan menyebabkan petani gurem kalah bersaing dengan pemodal besar di sektor peternakan, yang biasanya kandang sapi berpindah dari areal persawahan ke kandang koloni.
Sawah kehilangan pupuk dan di kandang koloni muncul polusi. Para petani tidak mampu lagi membeli kotoran sapi terlebih lahan sawah jauh dari jalan besar dengan transportasi yang menyulitkan dan biaya mahal.
Demikian pula pemeliharaan ikan di sawah kini tinggal selogan untuk disuluh, namun secara faktual sulit dilakukan. Penggunaan pestisida selain membahayakan ikan peliharaan akibat air sudah tercemar, membinasakan cacing dan biota lain dalam tanah yang menjadi bahan makanan ikan.
Pertanian terpadu tempo dulu selalu mengatur giliran tanaman dengan setengah tahun basah dan setengah tahun kering. Penanaman pupuk hijau selalu mereka lakukan setelah padi gadu karena masih tersedia waktu untuk menunggu musim tanam.
Pupuk hijau yang ditanam adalah jenis kacang-kacangan, kedelai, crotalaria dan jenis lain yang dibenamkan saat pengolahan tanah berikutnya. Budaya pupuk hijau yang sangat bermanfaat untuk menyuburkan lahan pertanian tidak ditemukan lagi dalam pengembangan pertanian modern sekarang ini.
Lahan sawah sekarang ini hampir tidak ada lagi giliran tanaman, petani cenderung menanam padi tiga kali setahun, tanpa memberikan istirahat dan terus diforsir dengan pupuk kimia. Giliran tanaman merupakan aspek penting dalam keterpaduan untuk mempertahankan tingkat kesuburan tanah, tutur Gusti Ketut Riksa.https://linktr.ee/em4