Sistem pertanian tradisional dalam bidang pertanian (subak) yang diterapkan secara turun temurun di Bali berbasis sosio agraris berkat religius, menjadi tenar sejak zaman dulu hingga sekarang.
“Religi pada sektor irigasi hanya ada di Bali yang kemudian diakui sebagai salah satu kearifan lokal. Sebagai masyarakat religi yang berbudaya subak harus tetap dilestarikan dan dipertahankan agar tidak ternoda, rusak dan musnah,” kata Staf Ahli PT Songgolangit Persada, Ir. I Gusti Ketut Riksa.
Ia yang juga Instruktur Effective Microorganisms 4 (EM4) pada Institut Pengembangan Sumber Daya Alam (IPSA) Bali menambahkan, Bali memang terkenal dengan religi dan dengan religi pula, Bali hidup dengan budaya yang religius, pariwisata berkembang seiring dinamisasi budaya yang turut mewarnai perubahan.
Sektor pariwisata berpengaruh kuat terhadap pertanian dan subak, meski pariwisata Bali itu soal pariwisata budaya, namun budaya pertanian ikut tergerus karena imbas perubahan tersebut.
Gusti Ketut Riksa menambahkan, Sejak zaman penjajahan Belanda subak lebih dikenal di berbagai negara di belahan dunia. Subak Jatiluwih di Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan dinyatakan sebagai warisan dunia (UNESCO World Hertage), suatu pertanda dunia turut menyayangi subak di Bali.
Subak Jatiluwih memiliki hamparan seluas 636 hektyar berupa terasering yang sangat indah dengan produksi beras merah organik yang menerapkan sistem irigasi subak.
Masyarakat Bali jelas bangga dengan penghargaan tersebut, namun sangat disayangkan subak di tempat lain terdegradasi. Sekitar 1.000 hektar sawah setiap tahunnya di Bali beralih fungsi sebagai tanda subak dalam kehancuran, tutur Gusti Ketut Riksa.https://linktr.ee/em4