Staf Ahli PT Songgolangit Persada, Ir. I Gusti Ketut Riksa menilai, pertanian tradisional Bali zaman dulu jauh lebih baik dan unggul dengan tingkat kesuburan lahan yang lestari serta memiliki peluang berproduksi yang lebih pasti dari pertanian yang dianggap modern sekarang ini.
“Petani tempo dulu, terutama petani di lahan basah selalu memelihara sapi untuk membantu mengolah tanah dan memanfaatkan kotorannya untuk pupuk serta ada tabungan bila sewaktu-waktu membutuhkan uang,” kata Gusti Ketut Riksa yang juga Instruktur Effective Microorganisms (EM4) Institut Pengembangan Sumber Daya Alam (IPSA) Bali.
Ia mengatakan, petani jaman dulu juga lebih kreatif, selain memiliki ternak sapi juga memelihara unggas, babi dan melakukan budidaya ikan. Pemeliharaan ternak dilakukan di sawah sehingga tidak memerlukan biaya angkut kotoran hewan untuk pupuk.
Kencing sapi dan kotoran padat langsung dikuras dari kandang masuk ke sawah, sehingga lahan sawah terus memperoleh asupan pupuk kandang. Hal itu jauh berbeda dengan modernisasi pertanian sekarang, yang telah mengganti ternak sapi dengan traktor, sehingga petani sekarang jarang memelihara sapi atau kerbau.
Gusti Ketut Riksa menambahkan, revolusi besar-besaran di sub sektor peternakan menyebabkan petani gurem kalah bersaing dengan pemodal besar bidang peternakan, yang biasanya kandang sapi berpindah-pindah di areal persawahan.
Sawah kehilangan pupuk dan di kandang koloni muncul polusi. Para petani tidak mampu lagi membeli kotoran sapi terlebih lahan sawah jauh dari jalan besar dengan tranportasi yang menyulitkan dan mahal.
Demikian pula pemeliharaan ikan di sawah sekarang juga tinggal selogan. Penggunaan pestisida yang membahayakan ikan karena air yang sudah tercemar, membinasakan cacing dan biota lainnya dalam tanah yang menjadi bahan makanan ikan.
Pola pemeliharaan ikan dengan membeli pakan tentu lebih besar pasak dari pada tiang, yakni menimbulkan kerugian karena biaya operasional lebih tinggi dari hasil panen.
Untuk itu teknologi Effective Microorganisms (EM) dengan produknya di Indonesia adalah Effective Microorganisms 4 (EM4), yang secara internasional bernama EM.1 memimpin pasar pupuk organik cair di Indonesia yakni EM4 Pertanian, EM4 peternakan, EM4 perikanan dan EM4 limbah.
Teknologi EM dikembangkan pertama kali oleh Prof. Dr. Teruo Higa dari University of The Ryukyus, Okinawa, Jepang, pada 1980. Selanjutnya Teknologi EM mulai berkembang ke seluruh dunia sejak 1989, setelah dibentuk organisasi penelitian pertanian organik Kyusei (Asia Pasific Natural Agriculture Network, APNAN) yang berkantor pusat di Thailand.
Indonesia sebagai anggota APNAN banyak menyumbangkan pemikiran dan hasil-hasil penelitian pertanian organik dengan Teknologi EM sejak 1990. Hasil-hasil penelitian pertanian organik di Indonesia yang pada saat itu dimotori oleh Yayasan Bumi Lestari dan Yayasan Kyusei Nature Farming menjadi modal awal untuk mendaftarkan produk EM4 sebagai pupuk organik cair di Indonesia oleh PT. Songgolangit Persada pada 1995.
Untuk mengajarkan dan melatih Teknologi EM kepada petani dan masyarakat, Yayasan Istitut Pengembangan Sumber Daya Alam (IPSA), melakukan pelatihan dan pendidikan Teknologi EM sejak 1997. Selanjutnya Yayasan IPSA berganti nama menjadi Yayasan Gede Ngurah Wididana karena alasan perijinan sejak tahun 2022.
PT.Songgolangit Persada secara tekun mengembangkan dan memasarkan produk EM4 ke seluruh Indonesia dengan tempat varian produk EM4, yaitu untuk pertanian, peternakan dan perikanan dan limbah.
Melihat perjalanan panjang EM4 di Indonesia sejak tahun 1990 (33 tahun), dengan tetap konsisten pada pengembangan produk pertanian organik, yang dimotori oleh PT. Songgolangit Persada sejak 1993 (30 tahun), maka sangatlah banyak pengalaman dalam bidang pendidikan, pelatihan, penelitian, produksi dan pemasaran sebagai modal utama untuk menjalankan bisnis EM4 di Indonesia, tutur Gusti Ketut Riksa. https://linktr.ee/em4