Oleh: Mas Ruscitadewi *)
Sesungguhnya kita bisa belajar di mana saja, kapan saja dan pada siapa saja. Tetapi seringkali kita tak menyadari kehadiran “guru” di sekitar kita.
Penelitian untuk skripsi terhadap dolmen (batu-batu sebagai media pemujaan) di Situs Namata Pulau Sabu NTT, tak membuat saya memahami makna “belajar” dan “guru” itu.
Sekumpulan batu-batu besar yang dimanisfestasikan sebagai stana kekuatan Tuhan (Deo/Dewa Langit, Petir, Hujan dan lain-lain) hanya saya pahami sebagai palinggih/bangunan suci bagi umat Hindu di Bali.
Suatu ketika saya bertemu seorang teman Amerika yang mendapat warisan yang dipakainya untuk keliling dunia. Dalam perjalanannya keliling ia juga mampir di Bali. Saya tanya kenapa ia suka Bali? “Saya suka Bali karena tempat pemujaannya terbuka, bersatu dengan alam, juga alam itu sendiri, ” katanya.
Jawaban itu membuat saya terkesima dan mengingat kembali pelajaran-pelajaran tak tertulis yang saya terima. Tentang makna menghormati “song sombah” (pintu jalan air), sumber air (sumur, ledeng dan lain-lain), halaman rumah, “lebuh” (di depan pintu masuk), perempatan, sungai, laut dan lain-lain seperti penghormatan yang dilakukan pada pelinggih sebagai stana Manisfestasi Tuhan.
Penghormatan pada unsur-unsur alam sebagai manisfestasi Tuhan sampai saat ini masih dilakukan oleh masyarakat Catur Desa Adat Dalem Tamblingan (masyarakat yang setia pada aturan raja Tamblingan di masa lalu-mungkin sekitar abad IX masehi).
Saya agak terkaget-kaget ketika mendapati bahwa yang dimaksud dengan Pura Tirta Mangening adalah bagian danau itu sendiri yang dindingnya berbatu, sehingga air di sekitarnya relatif lebih bening dari yang lain.
Tak ada bangunan yang dibuat sebagai stana Tuhan, karena diyakini air dan batu-batu itu juga manisfestasi Tuhan.
Danau dan hutan Tamblingan juga dihormati sebagai manisfestasi Tuhan, sehingga masyarakat adat berusaha menjaga kebersihan dan kesuciannya, secara lahir maupun batin.
Hutan dimanisfestasikan sebagai Sanghyang Mertajati (Sang pemberi hidup yang sejati) dan Danau sebagai Dewa Wisnu yang saktinya disebut Sanghyang Wisnu Sekarsari.
Melalui adat, budaya dan tradisi di Tamblingan, kita diajarkan tentang penghornatan dan penghargaan terhadap Tuhan dalam manisfestasinya sebagai alam, sebagai tanah, air, api, angin dan ruang yang tak bisa manusia ciptakan.
Semoga masyarakat Tamblingan dan yang datang ke Tamblingan bisa tetap menjaga dan menghormati guru alam yang telah diwariskan oleh para leluhur Tamblingan.
*) Adalah Sastrawan dan Alumnus Program S-3 Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar