Makanan yang umum dikonsumsi manusia dalam kehidupan sehari-hari mengandung dua jenis energi, pertama energi penjumlah dari energi bersifat fisik, hasil dari proses pencernaan makanan, besarnya dapat diukur dalam satuan kalori.
“Jenis energi itu selalu diperhitungkan para ahli gizi dalam perencanaan kesehatan manusia, karena energi itu diperlukan untuk melakukan kerja fisik, menjaga suhu tubuh dan fungsi-fungsi vital lainnya,” kata Staf Ahli PT Songgolangit Persada, Ir. I Gusti Ketut Riksa.
Ia yang juga instruktur Effective Microorganisms 4 (EM4) untuk pertanian organik pada Institut Pengembangan Sumber Daya Alam (IPSA) Bali di Desa Bengkel, Buleleng yang kini berubah status menjadi Yayasan Gede Ngurah Wididana (GNW) menjelaskan, energi yang kedua disebut Chi atau Ki dalam bahasa Cina dan “Prana” dalam kehidupan umat Hindu di Bali.
Sedangkan orang Yahudi menyebut dengan ruah (nafas kehidupan), orang Yunani menyebut pneuma, dunia barat menyebut sebagai “life force” atau vital energi yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai energi esensil, energi hidup atau enegi vital.
“Chi atau Ki diperlukan untuk berpikir, kerja mental, sistem kekebalan tubuh dan kedua jenis energi dalam makanan itu belum pernah diperhitungkan dalam perencanaan pangan dan gizi, meski sangat penting untuk kesehatan manuisa, secara lahir dan batin,” ujar Gusti Riksa, mantan Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Bangli.
Semua makluk hidup kecuali manusia, makanannya berupa makanan mentah. Dalam bentuk kuku, usus yang panjang dan struktur gigi yang kebanyakan geraham serta gigi seri.
Simpanse merupakan kerabat manusia yang paling dekat dan memakan 117 jenis tanaman hijau, sekitar 50 persen dalam bentuk buah, 45 persen bagian tanaman lain seperti dedaunan, ubi dan akar serta hanya 5 persen berbagai jenis serangga.
Semua jenis simpanse tersebut makan dedaunan dalam bentuk mentah. Oleh sebab itu mampu bertahan hidup sampai 125 tahun. Demikian pula hewan-hewan liar tidak ada yang makan makanan yang dimasak. Sebaliknya hewan yang dipelihara makan makanan yang dimasak, lebih dipicu oleh faktor makanan dan lingkungan, tutur Gusti Riksa.