Tanaman seralia atau biji-bijian mampu mempertahankan daya hidup lebih lama dari jenis tanaman lainnya, yakni orang tua zaman dulu selalu mengkonsumsi nasi yang masih mengandung daya hidup.
“Berbeda dengan masyarakat modern sekarang ini selalu makan nasi dari beras yang sudah lama tersimpan di gudang. Beras itu lebih cepat kehilangan daya hidup dari pada padi,” kata Staf Ahli PT. Songgolangit Persada, Ir. I Gusti Ketut Riksa.
Ia yang juga instruktur Effective Microorganisms 4 (EM4) untuk pertanian organik pada Institut Pengembangan Sumber Daya Alam (IPSA) Bali di Desa Bengkel, Buleleng yang kini berubah status menjadi Yayasan Gede Ngurah Wididana (GNW) menilai, teknologi sekarang mengorbankan daya hidup yang sangat bermanfaat demi alasan efisien.
Hanya pengetahuan tentang daya hidup itu belum terlalu populer. Manusia mengenal banyak sumber energi, termasuk benda-benda mati yang memiliki energi minimal dalam bentuk adhesi dan kohesi. Logam memiliki medan magnet dengan kekuatan yang cukup besar yakni daya tarik dan daya tolak.
Dari energi tersebut manusia dapat menghasilkan listrik yang sangat bermanfaat, Sumber energi lain berupa panas bumi, fosil yang dapat diperbaharui, matahari, angin, gelombang laut bahkan juga energi baru terbarukan (IEBT).
Gusti Riksa menjelaskan, energi hidup yang dikenal dengan “life power” tentu tidak sama dengan ahesi, kohesi, energi listrik. Energi hidup itu dikenal kehebatannya oleh para pemikir besar sejak dulu, namun para ahli gizi sekarang belum memasukkan dalam program pangan dan gizi.
Banyak bahan makanan yang cepat kehilangan daya hidup seperti daging dan ikan, namun bahan makanan nabati dapat bertahan dalam waktu yang jauh lebih lama, ujar Gusti Ketut Riksa.