Petani dalam menekuni dan mengembangkan pertanian organik yang belakangan ini semakin menjanjikan, membutuhkan tekad dan modal yang murah, karena dapat memenuhi kebutuhan sarana produksi secara mandiri tanpa tergantung produk-produk keluaran pabrik.
“Bahan baku pupuk organik dapat diperoleh secara mudah dari limbah-limbah organik, bahan baku berupa sisa tanaman dan kotoran hewan yang difermentasi dengan Effective Microorganisms4 (EM4) dan molase dalam tempat tertutup,” kata Staf Ahli PT Songgolangit Persada, Ir. I Gusti Ketut Riksa.
Petani dengan menggunakan EM dapat membuat pupuk organik, membuat bio pestisida, bio fungisida, bio bakterisida, bio urine, pupuk pelengkap cair (PPC), zat pengatur tumbuh dan bio desinfektan, semuanya ramah lingkungan.
Jika lahan pertanaian didominasi mikroba yang merugikan, tanaman yang tumbuh di atasnya akan kurus, kekebalan terhadap hama dan penyakit sangat rendah. Meskipun tanaman masih bisa bertahan hidup, bukan karena kekebalannya terhadap hama penyakit, tetapi karena hamanya yang mati akibat disemprot.
Gusti Ketut Riksa mencontohkan, seperti layaknya kehidupan manusia, mikroba juga ada yang bersifat baik sebagai sahabat manusia, namun ada juga yang berifat merugikan. Di dunia selalu ada dua titik kekuatan yakni kekuatan degenerasi dan kekuatan regenerasi atau di Bali dikenal dengan “Rwa Bineda”, dua hal yang selalu berbeda.
Kedua titik kekuatan tersebut ternyata ditentukan oleh mikroba yang merugikan (degenerasi) dan mikroba yang menguntungkan (regenerasi). Hal itu sangat berbeda dengan dengan lahan yang didominasi mikroba yang menguntungkan.
Lahan sawah yang diberi pupuk bokashi tanaman padi akan tumbuh baik dan panen pada saat daun bendera masih hijau. Berbeda dengan penggunaan pupuk kimia, pada saat padi dipanen daun-daun padi sudah mengering.
Pertanian organik berbasis teknologi EM butir-butir gabah lebih mentes, karena teknologi ramah lingkungan ini mampu merubah lahan-lahan pertanian yang kurus menjadi subur. Dengan teknologi EM semakin lama lahan pertanian semakin baik.
Hal itu berbeda dengan teknologi kimia yang menyebabkan lahan pertanian semakin lama semakin keras, semakin tipis, semakin kurus serta produktivitas tanah yang menurun, tutur Gusti Ketut Riksa.