Oleh: Gede Ngurah Wididana *)
Pedagang kaki lima itu, suami-istri yang sudah berumur, menjual nasi kuning setiap hari dari pagi sampai siang. Seorang anaknya pergi merantau ke luar Pulau Bali. Dari masa awal perkawinannya, keluarga kecil itu menjual nasi kuning. Anak laki-lakinya yang semata wayang hanya sempat pulang 3 hari untuk sungkem di saat hari lebaran. “Dia sudah dewasa, tapi belum berkeluarga,” kata nenek penjual nasi kuning itu.
Warung nasi kuning itu dikenal dengan warung nasi kuning nenek, rasa nasi kuningnya sangat enak dan gurih, pelanggannya banyak. Kakek dan nenek itu melayani pembeli dengan baik. Pelanggan boleh membeli nasi kuning yang dibungkus sesuai kantong pembeli, berapapun dilayani, “semoga berkah” katanya.
Warung nasi kuning nenek semakin laris dan warungnya diperbesar dengan menyewa toko kecil. Selama pandemi Covid 19, warung nasi kuning nenek menjadi mengecil, karena pelanggannya dari mahasiswa dan orang kerja di hotel berkurang, tapi nenek terus melayani pelanggannya dengan setia, “Harus sabar dan tekun,” katanya. Warung nasi kuning nenek tetap bertahan, walau penjualannya semakin seret.
Suatu hari warung nasi kuning nenek tutup, pembelinya pulang dengan tangan dan perut kosong. Tapi pelanggan masih terus datang setiap pagi untuk membeli sarapan. Perasaan pelanggan kecewa, karena sarapannya tidak sesuai harapan. Warung nasi kuning nenek ternyata tutup dalam waktu lama, tanpa informasi, sehingga pelanggannya menjadi kecewa, penuh tanda tanya, mengapa warung itu tutup.
Setiap pagi saya lewat naik sepeda di depan warung nenek sambil berharap semoga warungnya buka. Di hari ke 45 warung nasi kuning nenek buka. Kata nenek, dia sakit batuk dan sesak nafas, mungkin kena serempet Covid, untung dia selamat dan bisa sehat sekarang, sehingga warungnya bisa buka lagi.
Sebagai pelanggan setia, saya masih sering membeli nasi kuning nenek. Kelihatannya pelanggan nasi kuning nenek banyak yang hilang entah kemana, pelanggannya hilang seperti embun menguap di siang hari. Sepertinya pelanggan telah melupakan enaknya rasa nasi kuning yang sering dipromosikan oleh pelanggannya. Sekarang pelanggan sepertinya ogah mampir ke warung nasi kuning nenek.
“Kemana pelanggan yang dulu sering berkunjung ke warung?” pikir nenek. Nenek tidak habis pikir. Jawabannya masih menggantung di tempat gelap yang sunyi, membuat dirinya menjadi semakin sepi dan bingung. Nenek masih terus berusaha membuka warungnya, walau semakin sedikit omset penjualannya. Dalam hati saya berkata, pelanggan nenek sudah melupakan warung nasi kuningnya, karena persaingan warung nasi kuning dan sarapan lainnya yang semakin banyak menjadi usaha sampingan.
Pelanggan sekarang sudah semakin tidak setia, karena mereka ingin lebih cepat, lebih murah dan juga lebih enak. Warung nenek kalah bersaing dalam informasi, teknologi dan manajemen. Warung nenek mulai dilupakan pelanggan lamanya.
Dia harus bekerja lebih giat lagi untuk mencari pelanggan baru. Kalau tidak, maka warung nenek akan segera tutup, ditutup oleh keadaan yang memaksanya, karena biayanya yang sudah tidak nyucuk lagi, alias minus setiap hari.
Saya tidak tega menjelaskan keadaan yang sebenarnya, tapi saya terus rajin membeli, membantu mempromosikan kelezatan rasa nasi kuningnya kepada teman dan tetangga. Warung nenek masih bertahan buka dalam kesepiannya.
Hidupnya kembang kempis, seperti sakit sesak nafasnya dulu. Saya jadi ragu, bagaimana kalau nenek sakit lagi suatu hari, yang mengakibatkan warungnya tutup? Jika itu terjadi, maka warung nenek pastilah segera tutup permanen, karena pelanggannya sudah melupakannya.
“Semoga itu tidak terjadi, semoga nenek sehat, di usianya yang semakin ringkih,” itu doa saya. Bertahan hidup di kota dengan hanya menjual nasi kuning di warung kecil cukuplah sulit, nenek dan kakek masih terus berjuang, penuh harap. Pagi ini saya bersepeda melewati warung nasi kuning nenek. Warungnya terlihat sepi pembeli, nenek duduk menunggu termanggu. Saya membeli dua puluh bungkus nasi kuning untuk dibagikan ke anak yatim. “Alhamdulilah,” kata nenek bersyukur.
Bagaimana ada kabar baik Nek, tanya saya. “Anak nenek yang sulung minggu depan pulang dan menetap di Bali, dia mau melanjutkan jualan nasi kuning nenek, katanya dengan wajah gembira. Sepertinya nenek melihat secercah harapan di masa depannya yang sudah mulai menua.
“Selamat ya Nek, semoga nasi kuning nenek tambah laris nantinya,” kata saya menimpali dengan senyum. Wajah nenek bertambah gembira. Kerut matanya terlihat menggaris memayungi bibirnya yang tersenyum. Saya belajar banyak dari semangat dan kegembiraan nenek bekerja, walau usianya sudah senja, dia bisa meregenerasikan usahanya, walau tertatih.
Sebulan kemudian, warung nasi kuning nenek terlihat cantik tampilannya, pelanggannya banyak kembali datang, termasuk pelanggan baru. “Apa rahasianya Nek?” tanya saya. Nenek memperkenalkan anaknya yang melanjutkan warungnya. “Dia anak yang pintar dagang, ilmu dan pengalaman dagangnya didapat dari merantau. Nenek sangat bersyukur,” katanya.
“Semoga nenek selalu sehat dan berkah.” Kata saya sambil melambaikan tangan. Air mata nenek mengambang di pelupuknya, bulatan air bening di matanya itu diusap dengan punggung tangannya sebelum jatuh menetes, wajahnya masih bisa tersenyum.
Hati saya bergetar mengayuh sepeda meninggalkan warung nenek. Sejenak saya merasakan aura sepi dan tua dari dalam diri saya sendiri. Saya teringat orang tua di desa. Saya teringat satu per satu anak berkeluarga dan meninggalkan rumah.
Setelah kembali membayangkan senyum nenek, saya merasa bersemangat lagi menyambut hari. Semangat dan senyum nenek sangat menginspirasi. Semoga nenek bahagia, sehat dan panjang umur. Sepeda saya kayuh menuju rumah. Komputer saya buka untuk menulis sedikit kisah pertemanan saya dengan nenek, sebelum ingatan itu menjadi lupa oleh usia saya yang mulai menua.
*) Direktur Utama PT Karya Pak Oles Tokcer linktr.ee/pakolescom