Oleh: Putu Suasta *)
Ginada adalah jenis pupuh, tembang Bali yang tak lekang oleh waktu. Ia bukan saja indah di lagu, juga luhur dalam hal makna. Sebagai tembang pupuh, Ginada tak sendiri. Ada jenis yang lain seperti pupuh Sinom, pupuh Pucung, pupuh Ginanti dan beberapa yang lain.
Semua punya cengkok irama yang tak sama, namun keluhuran maknanya setara. Pupuh menawarkan kekhasan irama, menawarkan kesyahduan dan kearifan makna yang terasa sangat lokal namun sesungguhnya, jika didalami secara literatif ia bisa berlaku universal.
Salah satu tembang Ginada yang sangat terkenal ialah bersangkutan dengan kerendahan hati dalam mencari tahu tentang ilmu pengetahuan, tentang mendalami arti diri dan kehidupan, tentang menjauhi kesombongan.
Tembang itu dibuka dengan: Eda ngaden awak bisa, dan diakhiri dengan: enu liu papelajahang. Generasi 60-an hingga 70-an di Bali sangat hapal dengan tembang Ginada tersebut. intinya, tembang tersebut menyuratkan kerendahan hati di depan keagungan ilmu pengetahuan dan karena itu jangan merasa sudah menguasai semuanya.
Ilmu pengetahuan yang agung di Bali disimbolkan dalam wujud Dewi Saraswati. Datang tiap enam bulan sekali (210 hari- dengan memakai perhitungan bulan Bali yang berumur 35 hari per bulan!) dan jatuh setiap hari Sabtu (Saniscara). Masih dalam rangkaian Hari Saraswati adalah Pagerwesi, jatuh pada hari Rabu.
Semua umat Hindu di Bali, terutama pelajar, mahasiswa, guru/dosen dan kaum intelektual, merayakannya dengan khusuk dan khidmat. Semua buku dan bacaan lain pada hari itu dibantenin (diupacarai dengan rangkaian janur kombinasi aneka jenis warna bunga yang disebut canang) dan dupa. Saraswati adalah perayaan untuk ilmu pengetahuan bagi orang Bali dengan memberi makna khusus pada pengupacaraan buku dan segala macam bacaan.
Rasa hormat orang Bali pada ilmu dengan memberi perhatian khusus pada buku tidaklah sendirian. Dunia juga memberi perhatian pada buku dengan menetapkah Hari Buku setiap tanggal 23 April. Di zaman Yunani, kesadaran pada teks sebagai medium pencatatan pemikiran-pemikiran para filsuf dan cendekia menjadi perhatian utama ketika itu. mereka meyakini pepatah Latin yang berbunyi “verba volan scripta manent” (yang diomongkan sirna, yang dicatat/ditulis abadi). Demikian pula India yang meletakkan segala filsafat dan agamanya di jalan sastra. Maka, secara historis, kedudukan ilmu menjadi sangat penting dalam perjalanan sejarah umat manusia.
Hal menakjubkan adalah bahwa orang Bali yang sehari-hari dikenal sebagai petani, mempunyai kearifan memberi rasa hormat kepada ilmu pengetahuan dalam bentuk perayaan Hari Saraswati yang kali ini jatuh pada hari Sabtu, 26 Maret 2022.
Hari yang agung untuk ilmu pengetahuan ini, bagi orang Bali, bukan sekadar menyangkut cakepan (buku dan bentuk bacaan lain), tetapi juga melibatkan ke dalamnya ialah relevansi moralitas dalam ilmu. Bagi cendikiawan Bali, ilmu pengetahuan bukan dipahami sekadar di bangku sekolah dan keterampilan, melainkan lebih dalam dari sekadar itu.
Bagi orang Bali, dasar ilmu pengetahuan ialah moralitas. Belajar dan bekerja dengan kemampuan keterampilan yang dipunyai (bertani, melukis, menggambar, keahlian arsitektur dan lain-lain) adalah pertama-tama untuk rasa bakti, bahagia, bersahaja.
Secara sosiologis, hal itu terciri dari kehidupan orang Bali masa lalu. Tak ada kesombongan sekalipun mereka menguasai beberapa keterampilan (melukis, undagi, menari, bermusik), tak ada sikap yang berlebihan dalam pergaulanan antar mereka maupun kepada orang lain.
*) Alumnus Universitas Gajah Mada dan Universitas Cornell, Amerika Serikat.