Bali bukan sekadar turisme. Ia lebih jauh dari itu. Bali adalah representasi dari keseluruhan yang disebut kebudayaan. Dan seluruh yang mengusung kebudayaan ini bergerak dinamis, person, nilai dan produknya. Ada beberapa aspek yang membuat kebudayaan Bali menemukan progresivitas yang tiada henti. Sebagian tersimpan dalam histori, sebagian lain tersimpan dalam teks dan bahasa lokalnya.
Jika kemudian sebagian beranggapan bahwa kebudayaan Bali termuat dalam bahasanya, itu masuk akal. Ini barangkali terindikasi dari salah satu definisi kebudayaan ialah bahasa. Tak jauh juga dari pepatah Melayu; bahasa menunjukkan bangsa dan bagaimana mungkin orang Bali menunjukkan kebudayaannya ketika bahasa ibu mereka yang menyimpan berbagai kearifan lenyap?
Maka, pelestarian Bahasa Bali sesungguhnya bukan saja mengusung keajegan Bahasa Bali, namun juga menggali ‘kekayaan’ yang lain, yakni bahasa yang menyimpan beragam nilai, pengetahuan, filsafat dan kemungkinan-kemungkinan yang tak terduga.
Karena bahasa ialah sumber pengetahuan. bahasa-bahasa yang tak aktif lagi penggunaannya menyimpan pengetahuan. Betapa banyaknya ilmu pengetahuan yang belum tergali yang tersembunyi dalam bahasa Sanskerta, Latin, Sumeria dan sejumlah bahasa lain.
Demikian pula, betapa banyak nilai pengetahuan kearifan, moral dan pengetahuan-pengetahuan praktis yang tersimpan dalam lontar, prasasti, atau ungkapan-ungkapan Bahasa Bali yang selama ini belum terpahami.
Secara antropologis, Bali adalah sebuah sejarah yang runtun, berkesinambungan dan pergerakan budayanya begitu dinamis. Dan secara kreatif, orang Bali adalah ‘manusia pembuat hal-hal baru’. Kekayaan intelektual orang Bali dalam seni, filsafat, bahasa dan perilaku telah terbukti dalam sejarah dan bahkan sampai hari ini.
Dan pengekspresian itu sebagiannya terakumulasi melalui bahasa ibunya. Dengan kepemilikan sumber daya manusia ini, orang Bali pantas untuk merasa superior. Namun kembali lagi kepada nilai ‘ke dalam’ budaya mereka; kerendahhatian sebagai pegangan utama moral orang Bali.
Gerakan revitalisasi Bahasa Bali saat ini adalah momentum yang signifikan di tengah kepungan dan gempuran turisme Bali yang telah sempat melenakan orang-orang Bali. Kita telah cukup banyak kehilangan tanah sawah, mabok pada hedonisme modernitas, termanja oleh produk-produk zaman yang menjebak dan kelengahan untuk mengejar ketertinggalan. Kesadaran kebersamaan dalam upaya penyelamatan kebudayaan masih belum terlambat dilakukan dan masih sangat mungkin dikerjakan secara masif.
Dan langkah ‘penyelamatan’ Bahasa Bali sebagai gerakan kultural adalah tindakan yang sangat tepat, bijak dan bermanfaat. Bahasa adalah lambang kehadiran entitas suatu suku bangsa. Bangsa-bangsa besar seperti Prancis, Inggris, Jepang, untuk menyebut beberapa, sangat membanggakan bahasa bangsanya.
Mereka ingin sekali, terutama Prancis, mengukuhkan bahasanya menjadi salah satu bahasa dunia. Beberapa bahasa di luar bahasa Inggris, seperti Jepang,Mandarin dan Jerman pun kini banyak orang-orang mempelajarinya.
Jika kebudayaan ialah seluruh ekspresi akal budi manusia, maka bahasa menjadi salah satu ‘pengantar’ dan pembawanya’ dalam relasi pergaulan umat manusia. Inilah mengapa Bahasa Bali harus terus dilanjutkan dalam peradaban Bali.
Dengan penyadaran bahwa kebudayaan Bali demikian kompleks dan kaya, demikian agung dan dinamis, maka tak ada alasan apa pun bagi orang Bali untuk tidak melanjutkan dan mewarisi bahasa ibunya dari generasi ke generasi. Karena dalam Bahasa Bali bukan saja sebagai ekspresi jati diri manusia Bali, melainkan juga wahana menyimpan dan ‘mencatat’ kebudayaannya.
*) Alumnus Universitas Gajah Mada dan Universitas CORNELL, Amerika Serikat.